Makan Nasi Kapau Langsung di Nagari Kapau

Foto Harian Singgalang
×

Makan Nasi Kapau Langsung di Nagari Kapau

Bagikan opini

Oleh Khairul JasmiKAPAU- Langit jernih, pukul satu siang, saya dan rombongan tiba di Nagari Kapau, Agam. Lalulintas agak sepi. Seumur-umur, tak terbilang lagi berapa kali saya menyantap nasi kapau, namun ini untuk pertama kali, "makan nasi kapau di Nagari Kapau." 

Selasa (20/6), sejak dari Padang, saya sudah digoda oleh keinginan makan kuliner kenamaan ini. "Kita makan di Nagari Kapau saja," ajak Direktur Utama PT Semen Padang, Asri Mukhtar Dt Tumangguang Basa. "Siko tampeknyo Pak," kata Idris Dt Sanggono Dirajo, protokol Semen Padang, sembari membagikan map lokasi rumah makan tersebut. 

Rumah makan ini adalah rumah, yang halamannya sudah dijadikan ruangan tempat meja disusun. Setidaknya ada delapan meja di sana, dua meja besar, selebihnya meja untuk dua dan empat orang. Di atas rumah ada dua meja panjang lesehan. Rumah makan yang rumah ini, atapnya tungkus nasi, gaya rumah Minangkabau zaman 1970-an.Di depannya membentang jalan lurus, tempat anak nagari lalu lalang hendak kemana saja. Di sini, rumah berderet sepanjang jalan, mengikuti pola pemukiman pedesaan Nusantara. Di tempat lain, juga bisa ditemukan, berderet sepanjang sungai. Dalam pola semacam ini, jalan raya atau sungai adalah tempat berkumpul kala senja. Juga jembatan, jika di satu pemukiman dominan sungai. Kebanyakan, rumah penduduk akan berlapis-lapis ke belakang, diakhiri parak lalu sawah dan hutan tanah ulayat. 

Kapau, nagari Agam Tuo, tempat ekonomi diputar sejak zaman lampau. Penduduknya hidup dalam ekonomi yang kuat, seperti juga kebanyakan nagari di Agam. Penduduk yang sama, kuat beragama. Untuk ke Kapau, kami melewati Tanjung Alam, tak lama benar sampailah di rumah makan Nasi Kapau Evi. 

"Kami tak punya cabang dimana pun," kata Eva, kasir di rumah makan itu. Kata dia, Evi, sedang pergi seminar di Bukittinggi. Cepak-cepong pun terjadi. Rombongan ini tak ramai benar, selain kami juga ada Yanda dan Mike sedang menyantap lauk-pauk kesukaannya. Selain kami, sejumlah tamu juga sedang makan siang. 

Masakan kapau merupakan, warisan yang khas nagari itu, tidak yang lain. Di Agam, tiap nagari tua punya tanggungjawab masing-masing. Kapau dengan masakannya, sanjai khas Nagari Sanjai, Tilatang Kamang dengan perkayuan untuk rumah, Magek dengan anak ikan, Ampek Angkek, pakaian, Koto Gadang perak, Tabek Sarok, emas. Sungai Pua khusus pandai besi.  Kopi untuk Bukit Apik, Kacang bagian Matua, Tebu untuk Lawang. Sayur-mayur jatah Banuhampu. Semua itu dijual ke Bukittinggi. Gulai kapau rasanya khas dan nikmatnya tak terbaca. Rasa nikmatnya sebenarnya ada pada kol atau lobak singgalang. Lalu ada rebung, nangka dan dilumuri kuah sedikit santan. Kemudian juga cabai gorengnya dengan daun bawang. Porsi nasi orang Agam, lebih banyak dibanding daerah lain, sehingga jika minta "tambuah ciek," banyak yang tak habis. Bahkan  cukup nasi sepiring saja.

"Mana teh es saya Tek," kata saya pada seorang pramusaji di sana. Padahal saya sama sekali tidak memesan. Taktik ini, bisa dipakai siapa saja, jika tiba-tiba ingin menikmati minuman yang sebelumnya tidak dipesan. Lantas, permintaan saya pun diantar. Banyak yang belum tahu dimana Nagari Kapau itu letaknya. Dekat Gaduik, atau dekat Koto Tangah, dekat pula ke Mandiangin, Koto Marapi. Kalau belum tahu juga, tanya saja, akan ditunjukkan orang, atau mengadu saja pada google. Tak jauh dari Bukittinggi. 

Kapau merupakan nagari paling kecil dalam kecamatan Tilatang Kamang. Luasnya hanya 475 hektare, tapi terdiri dari 12 jorong. Rumah makan tempat kami menikmati masakan tradisional ini ada di Koto Panjang, Kapau. Selesai makan, kenyang dan saya  berkeringat. Kemudian kami menunaikan shalat zuhur di masjid yang tak jauh dari sana. Saya melihat di sebelahnya ada  TK Kamboja, tiga anak perempuan sedang main ayunan. "Bisa Pak, itu jalan ka masjid," kata anak itu ketika saya tanya. 

"Woi manga tu," kata saya kemudian pada sejumlah anak laki-laki yang asyik main HP di tangga MDA di dalam kompleks masjid yang bersih itu. Anak-anak itu tersenyum tanpa berhenti melihat HP. Kita memang rakyat yang berkawan dengan HP. BPS mencatat tahun lalu, 67,88 persen penduduk Indonesia berusia 5 tahun ke atas, sudah punya HP atau memainkan HP. 

Itulah yang saya lihat ketika sedang makan tadi, seorang anak bukan main HP, tapi notebook. Dan saya sendiri, memainkan kamera telepon genggam beberapa kali untuk keperluan malagak pada kawan bahwa saya makan nasi kapau langsung di Nagari Kapau. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini