Akademisi untuk 100 Nagari

Foto Harian Singgalang
×

Akademisi untuk 100 Nagari

Bagikan opini

Universitas Andalas (Unand) baru saja menugaskan 70 orang dosennya untuk terjun ke 68 nagari di Sumbar. Para akademisi yang sebagian bergelar Professor dan Doktor (S3) akan mendedikasikan waktu dan pikiran mereka sebagai staf ahli nagari (SAN) di nagari tempat penugasan masing-masing. Tiap orang dari 70 dosen tersebut akan menjadi penasehat satu nagari, kecuali satu-dua nagari yang mendapat jatah khusus dengan pertimbangan tertentu mendapat 2 orang SAN.Inisiatif yang menjadi program dari Nagari Development Center Universitas Andalas (NDC Unand) ini memberi harapan baru baik untuk nagari yang mendapatkan SAN maupun nigari atau desa pada umumnya. Jika program NDC Unand nanti dijadikan proyek uji coba untuk mencari model, tentu model yang ditemukan bisa direplikasi di daerah lain di Indonesia. Nagari, atau desa pada umumnya untuk ruang lingkup nasional, memang masih butuh aksi afirmasi berbagai pihak.

Meski pemerintah dan badan-badan multilateral telah lama memberi perhatian khusus pada pembangunan desa, keterlibatan unsur lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sangatlah diperlukan. Diantara unsur lain itu, selain para professional, aktifis gerakan sosial dan lain-lain, insan perguruan tinggi sudah sewajarnya berada di posisi terdepan dalam gerakan percepatan pembangunan desa atau nagari. Perguruan tinggi punya keunggulan tersendiri sebagai tempat berkumpulnya orang-orang sangat terdidik yang terus-menerus mengembangkan ilmu pengetahuan untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidup.  Maka, sinergi orang-orang yang sangat berpengetahuan dengan unsur-unsur lain, seperti pemegang kewenangan di tingkat nagari, para birokrat, pelaku usaha, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda dan sebagainya, akan menghasilkan kekuatan besar untuk meningkatkan kualitas pembangunan.Saat ini jumlah dosen di seluruh Indonesia tercatat sekitar 317.000 orang yang tersebar di 3.107 perguruan tinggi. Dari jumlah tersebut, sekitar 40.000 bergelar Doktor/Ph.D atau berpendidikan S3. Terlepas dari rasio dosen dan lulusan S3 terhadap penduduk di Indonesia yang tergolong rendah diantara negara-negara berkembang di dunia, potensi di atas cukup besar untuk membantu pembangunan desa. Jika satu desa di Indonesia ditargetkan punya satu staf ahli paruh waktu dari kalangan akademisi ini, maka sesuai dengan jumlah desa hanya dibutuhkan 77.000 akademisi yang merangkap tugas staf ahli desa (nagari untuk Sumbar), selain mengajar dan meneliti.

Peran akademisi setempat dalam berpartisipasi membangun desa di Indonesia yang majemuk ini juga akan punya nilai lebih tersendiri. Untuk Sumatera Barat, misalnya, paska berakhirnya kekuasaan Orde Baru, daerah ini telah mengembalikan bentuk pemerintahan terendahnya ke sistem nagari yang berbasiskan kesatuan adat bermasyarakat. Secara geografis, luas wilayah nagari lebih besar dari luas desa yang pernah diterapkan di jaman Orde Baru. Walaupun secara administratif sistem pemerintahan nagari saat ini sudah berbentuk bauran antara sistem administrasi pemerintahan modern dan sistem pemerintahan tradisional, semangat kembali ke nagari yang didasarkan niat untuk kembali ke akar budaya Minangkabau membuat pelaksanaan pemerintahan nagari harus peka terhadap nilai-nilai bernagari. Sebagai akademisi yang kehidupan sehari-harinya berada di lingkungan budaya Minangkabau, 70 orang akademisi Unand yang mendapatkan tugas sebagai SAN tadi  tentu sedikit-banyak paham mengenai masalah budaya setempat.Di acara penyerahkan 70 akademisi kepada para wali nagari yang berlangsung di kampus Unand tanggal 31 Mei 2023 kemarin, terlihat peluang bertambahnya energi lembaga pemerintahan nagari bagi sebagian besar nigari dari 68 nagari yang beruntung di tahap pertama program NDC Unand ini. Sebagian besar wali nagari hadir dengan penuh semangat. Sayangnya, seperti yang sering terjadi, dari 70 akademisi Unand yang akan terjun itu malah lebih banyak yang tidak hadir. Saya amati, hanya sekitar 20 orang dari 70 akademisi itu yang hadir. Sebagian tentu karena benar-benar berhalangan. Tetapi, sebagian lain saya yakini karena merasa pertemuan dan seminar kemarin dianggap tidak penting untuk menambah pengetahuan. Padahal, mestinya mereka sadari bahwa titik start ini penting untuk membuat hasil yang optimal dalam pengabdian mereka di nigari tempat di tugaskan.

Sikap merasa ilmu sudah berlimpah dan tinggal diajarkan pada setiap kontak dengan orang lain adalah sikap yang juga harus diubah oleh sebagian akademisi kita. Selain ,itu, kehadiran akademisi dari sebuah lembaga perguruan tinggi terkemuka tentu bukan sekedar menjalankan fungsi kepakaran, melainkan diharapkan sebagai motivator bagi pihak dampingan. Dalam hal itu, kehadiran fisik sang motivator di momen penting seperti acara serah terima SAN kemarin sangatlah bernilai. Apalagi topik dan isu yang dibahas di dalam suatu pertemuan itu merupakan persiapan agenda praktis. 

TantanganLangkah awal Unand ini masih dibatasi pada pertimbangan memanfaatkan hubungan sosial dan emosional antara akademisi dengan nagari tempat mereka menjadi menjadi SAN. Umumnya SAN yang berjumlah 70 orang tadi menjadi staf ahli di nagari kampung asal mereka. Beberapa ada yang terjun ke nagari terdekat dari kampung asal mereka. Pendekatan ini tentu punya plus-minus. Plusnya, mereka sudah mengenal persoalan di nagari yang akan mereka dampingi dan sudah hapal kebiasaan orang-orang yang akan mereka dampingi. Kelebihan ini bisa membuat sumbangan pemikiran dan keahlian SAN yang bertugas diharapkan lebih efektif memberi dampak. Tinggal soal keaktifan dan kreatifitas dari akademisi yang menjadi SAN ini yang menentukan tingkat keberhasilan keterlibatan mereka.

Namun, ke depan metode penempatan SAN seperti ini tentu perlu disempurnakan untuk bisa sejalan dengan misi pembangunan untuk mengurangi ketimpangan dan mewujudkan keadilan. Sementara metode yang diterapkan di tahap awal ini memperlihatkan program afirmasi menjadi mengandung paradoks karena sebagian besar akademisi berada di kabupaten-kabupaten yang nagari-nagarinya sebagian besar sudah berstatus Mandiri dan Maju. Sebanyak 33 orang dari 70 akademisi membantu nagari-nagari di Kabupaten Agam dan Tanah Datar, yang berdasarkan status kemajuan nigari, 90% nagari di kedua kabupaten ini sudah meraih status Desa Mandiri dan Desa Maju. Sementara banyak kabupaten yang nagari-nagari berstatus Desa Berkembangnya berserta Desa tertinggalnya masih 50% lebih. Termasuk diantaranya Kabupaten Padang-Pariaman dan Kabupaten Solok yang bertetangga dengan Kota Padang. Tentu masih banyak kabupaten lain dengan jumlah nagari berstatus Desa Mandiri dan Desa Maju belum lebih dari 50%.Catatan di atas bukan untuk mengurangi nilai apresiasi kita kepada Unand. Bagaimanapun program yang kabarnya akan dicukupkan menjadi 100 Akademisi untuk 100 Nagari ini patut  kita dukung. Program dengan metode penempatan tahap awal ini tinggal dioptimalkan saja. Misalnya, NDC Unand menindaklanjuti dengan dengan membagi kelompok nagari ke dalam 3 kluster dan memilih satu kota kabupaten di dalam kluster untuk pusat pertemuan jika jumlahnya sudah mendekati 100 nagari. Kluster ini untuk memudahkan koordinasi dan melakukan penguatan program untuk nagari-nagari di masing-masing kluster.

Di pusat kluster tadi nanti bisa dilakukan beberapa kali pertemuan antara SAN dan wali Nagari di dalam kluster untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan sesama SAN dan antara semua SAN dan semua wali nagari. Selain itu, dalam pertemuan kluster didatangkan narasumber yang dipilih berdasarkan kebutuhan umum nagari-nagari. Misalnya dengan menghadirkan pengusaha, praktisi professional, praktisi pemerintahan yang berpengalaman sebagai pemimpin, dan sebagainya, ilmu, pengalaman dan wawasan orang luar pergurun tinggi ini pasti berguna untuk memperkaya pendekatan yang akan diambil SAN maupun para wali nagari dan perangkat intinya.Bagaimana dengan niat untuk memperluas program Akademisi Pendamping Desa ala Unand untuk Sumbar maupun untuk daerah-daerah lain di Indonesia? Saya tidak menyarankan perguruan tinggi lain segera berbuat. Saya justeru menyarankan agar perguruan tinggi lain menahan aksinya dulu sambil menunggu program NDC Unand ini berjalan minimal satu tahun. Ini soal mencari strategi yang efektif. Tujuan kita memberi waktu ke Unand untuk berjalan dulu minimal satu tahun adalah untuk menghindari pemborosan sumberdaya karena terlalu banyak menggunakan sumberdaya untuk uji coba. Sebaiknya, kita jadikan program NDC Unand ini sebagai pilot project untuk merancang konsep perencanaan paripurna dalam menerjunkan akademisi ke desa-desa. Untuk program awal ini, misalnya, NDC Unand perlu membuat platform dashboard digital yang antara lain berisi data baseline dan target pembangunan tahun tiap nagari. Ini penting sebagai instrument evaluasi atas hasil kolaborasi SAN dan perangkat nagari yang ikut dalam program ini.

Fungsi pilot project bukanlah untuk meluncurkan model yang akan diterapkan secara luas, melainkan dalam rangka membangun model yang relatif paling tepat. Dengan kata lain, pilot project adalah program pengorbanan karena di dalamnya ada sifat uji coba gagasan ke tingkat terapan. Melalui pilot project, gagasan yang dirancang oleh para akademisi itu kemudian diuji secara empiris, lalu dievaluasi untuk menyempurnakan perencanaan. Sayangnya, proses kebijakan seperti ini umum diabaikan di negara ini. Semangat buru-buru, disertai pantang tertinggal, sering menjadi jebakan massif yang memboroskan sumberdaya. Padahal, jika kita fokus pada pilot project sampai waktu yang cukup dan melakukan evaluasi secara komprehensif atas pilot project tersebut, implementasi program yang lebih luas akan membawa hasil yang lebih baik karena meminimalisasi pemborosan dan menghasilkan manfaat yang lebih besar.(***)

forum pemred
Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini
pekanbaru