Keinsyafan Perantau Minang

Foto Harian Singgalang
×

Keinsyafan Perantau Minang

Bagikan opini

Momen tahunan Idul Fitri memang selalu dijadikan perantau Minang dari berbagai daerah untuk "Pulang Basamo". Kembali ke kampung halaman pada saat Lebaran memiliki nilai spesial yang tidak bisa digantikan oleh kepulangan di hari-hari biasa. Meskipun banyak yang mengatakan bahwa pulang di hari biasa lebih ekonomis dan lebih panjang durasi berada di kampung sehingga tidak perlu berjubel membeli tiket atau mengemudi di jalanan, tetap saja vibe-nya berbeda dengan kepulangan saat Idul Fitri.Pulang di waktu Lebaran seringkali disalahpahami oleh sebagian besar perantau Minang dan orang di Ranah. Para perantau seringkali menjadikan lebaran sebagai momen untuk menunjukkan (baca memamerkan) keberhasilan di negeri orang. Maka tak jarang kemudian yang memilih pulang kampung dengan menggunakan mobil agar bisa dilihat oleh orang sekampung bahwa si "A" anak Tek "B" sudah sukses di rantau.

Sifat materialistis Minangkabau memang telah membuat penghargaan orang kampung terhadap orang Rantau lebih disandarkan kepada "kesuksesan finansial". Yang efeknya membuat sebagian perantau yang tidak sukses kemudian malu pulang kampung karena belum bisa membawa apa-apa. Untuk kelompok perantau yang belum sukses ini mereka akan memilih bertahan saja di Rantau tanpa pulang kampung. Bahkan ada yang baru berani pulang kampung setelah "berdarah-darah" mengumpulkan uang selama 5 tahun . Dan yang paling ekstrem adalah marantau cino, tidak pulang-pulang karena tak cukup ongkos dan bekal.Orang di Ranah pun selalu berekspektasi bahwa orang Rantau yang pulang lebaran pasti membawa uang yang banyak. Harapan akan menerima THR membuncah dalam hati mereka. Ini pula yang memaksa perantau untuk memenuhi ekspektasi itu dengan membawa uang berlebih agar bisa dibagi-bagikan ke sanak saudara, handai taulan dan disumbangkan ke masjid, surau, musholla serta untuk Nagari. Yang bisa jadi nominalnya melebihi dari ongkos perjalanan dari rantau ke kampung halaman.

Selain dijadikan sebagai momen menunjukkan kesuksesan secara finansial, pulang kampung juga dijadikan sebagai kesempatan untuk menampakkan kesuksesan akademik. Telah lulus S1, S2 dan S3. Sudah menjadi professor di kampus-kampus hebat di Jawa. Level kebanggaan gelar akademik ini masih di bawah status kesuksesan finansial. Kolaborasi kesuksesan akademik dengan finansial akan membuat orang kampung terkagum-kagum. Tapi jika hanya kesuksesan akademik tanpa tanda-tanda kesuksesan finansial biasanya yang menghargai hanya orang-orang tertentu saja yang paham dunia pendidikan tinggi. Di kalangan inilah kemudian perantau yang sukses secara akademik bisa maota lapeh. Yang lebih spesifik dari kesuksesan akademik adalah keilmuan di bidang agama. Biasanya ini akan ditunjukkan oleh perantau yang memiliki ilmu agama yang mumpuni. Mereka akan diberikan panggung untuk menjadi khatib Idul Fitri dan ceramah-ceramah umum di masjid, musholla dan surau. Penghargaan buat kelompok ini sebenarnya juga semakin mengerucut dan tidak massif. Karena efek ceramah agama itu biasanya sebentar. Kalaupun dinikmati oleh orang satu kampung di masjid atau lapangan tempat penyelenggaraan sholat Idul Fitri, tetap efek wow-nya sebentar dan orang sekedar tahu saja. Muncul kebanggaan bahwa orang kampungnya ada yang menjadi ustadz/ulama. Tapi biasanya akan dilanjuti, "Ceramah khatib tadi iyo rancak. Tapi kontribusi nyatonyo ka kampuang alun nampak lai." Kontribusi yang dimaksudkan masyarakat kebanyakan lagi-lagi pada aspek finansial atau pembangunan fisik.

Menurut saya, ekspektasi dari perantau untuk mendapatkan pujian dari orang kampung karena kesuksesan finansial, akademik dan keagamaan sebenarnya tidak perlu menjadi sesuatu yang terlalu diharapkan.Kalau kita perhatikan lebih detail, Sumatera Barat sebenarnya bukanlah daerah terisolir dari kemajuan yang ada di Jawa ataupun luar negeri. Sejak dulu negeri Ranah Minang ini adalah daerah yang cepat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di luar daerah/negeri. Karena memang jiwa merantau itu sudah mendarah-daging sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dari proses adaptasi dengan pembaharuan Islam di Timur Tengah yang diserap begitu cepat oleh orang di Ranah Minang, modernisasi yang dibawa oleh bangsa Eropa lewat kolonialisasi, hingga kemajuan termutakhir karena penetrasi internet yang sampai ke ujung-ujung nagari baik yang di pantai maupun di kaki gunung.

Makanya, jika ada orang Rantau membawa mobil Fortuner atau Pajero dari rantau, sesungguhnya sangat mudah untuk menemukan mobil Fortuner dan Pajero ber-plat BA di jalanan Sumatera Barat. Jika ada orang Rantau bangga dengan gelar doktor dan professornya, maka di Sumatera Barat sendiri sudah banyak professor dan doktor yang dimiliki oleh kampus-kampus di Sumatera Barat. Dimana sebagian mereka juga menempuh pendidikan di luar negeri. Apabila ada orang Rantau yang hendak menunjukkan kealiman dalam agama Islam, maka di Sumatera Barat sendiri juga berjibun para lulusan Timur Tengah dan para ulama yang berbasis di pesantren-pesantren yang ada di Sumatera Barat.Jika keadaannya sudah demikian, tak ada lagi sebenarnya yang perlu "dipamerkan" oleh orang Rantau ketika pulang kampung saat lebaran baik dari aspek finansial, akademik dan kealiman keislaman.

Yang perlu diinsyafi oleh para perantau adalah kehadiran mereka lebih dijadikan sebagai jembatan atau mediasi kolaborasi antara Ranah dengan Rantau. Sebagai contoh, yang sukses secara finansial bisa membuka berbagai sentra-sentra keekonomian di Sumatera Barat untuk semakin menggerakan roda ekonomi. Yang sukses secara akademik bisa melakukan kolaborasi riset yang saat ini memang sangat dimungkinkan dilakukan lewat berbagai skema hibah. Yang sukses secara keagamaan, bisa menginisiasi penguatan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Sumatera Barat agar mampu mengembalikan kejayaan keulamaan Ranah Minang dan menjadikan Sumatera Barat sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia.Kolaborasi yang sifatnya jangka panjang inilah yang membuat pulang kampung menjadi lebih bermakna dan percakapan yang terjadi tidak sebatas pembanggaan diri perantau yang kemudian dibalas sikap tak mau kalah dari orang Ranah. Ota selama bahari rayo bergerak menuju diskusi dan monitoring proyek-proyek bersama yang sudah digagas di tahun-tahun sebelumnya. Sekaligus menyiapkan langkah-langkah strategis untuk tahun-tahun mendatang.

Pemerintah Daerah tak lagi sekedar sibuk menghitung "Uang Orang Rantau" yang berputar di Sumatera Barat selama seminggu dua minggu orang Rantau berada di kampung halaman. Tapi mereka bisa menjadi semacam fasilitator dari proyek-proyek jangka menengah panjang yang sudah berhasil dirumuskan lewat ota-ota lapau antara orang Rantau dan orang Ranah di berbagai nagari. Dimana Pemda bisa memberikan semacam insight dan arahan soal pembangunan yang merata di Sumatera Barat sehingga tidak terjadi kejomplangan yang tajam antar nagari di Sumatera Barat.Pergeseran semangat pulang kampuang dari "unjuk kesuksesan" menjadi semangat kebersamaan menuju kemajuan sedikit banyaknya akan membuka ruang-ruang bagi orang Rantau yang tak berhasil tak perlu malu pulang kampung karena menilai diri mereka belum sukses. Tak perlu rantau dipajauah jika tak sukses. Siapa tahu ketika balik mengubah kemudi ke kampung terbuka peluang menuju sukses. Apalagi jika banyak lahan yang "nganggur" tak tergarap karena kurang SDM. Tak ada salahnya menjadi petani di kampung.

Marilah kita gunakan momen pulang basamo dari sekedar pamer sukses menjadi sebuah kolaborasi produktif sistematis dan berdurasi lama antara orang Rantau dan orang Ranah.Hal lain yang perlu diperhatikan oleh orang Rantau adalah jangan sampai menjadi penyebar virus-virus negatif kepada orang kampung. Baik dari segi life style pakaian sebagai promotor berpakaian you can see, penyebar ideologi liberalisme Islam yang bertentangan dengan ABS-SBK, pembawa kuman LGBT ataupun pengedar narkoba. Bawalah yang baik-baik ke kampung halaman.

Bagi saya, soal berkarier di Rantau atau di Ranah saat ini lebih kepada aspek kesempatan. Saya pribadi sudah berulang kali ingin pulang dan mengabdi di Ranah Minang setelah puluhan tahun merantau di Jogja, Inggris dan Jakarta. Tapi kesempatan itu belum mendatangi. Saya sadar sesungguhnya bahwa di Sumatera Barat sendiri formasi-formasi kerja itu terbatas. Lulusan kampus-kampus Sumatera Barat pun terpaksa harus pergi ke daerah lain untuk mendapatkan kerja. Orang-orang hebat juga sudah membanjiri Sumatera Barat. Sehingga kompetisi untuk mendapatkan kerja sangat ketat.Yang penting, mau berkiprah di Rantau ataupun Ranah, jangan sampai identitas Minangkabau itu hilang dari diri kita.(*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini