Ramadhan, bulan sarat makna dan hikmah itu, merupakan bulan di mana produktifitas dan intensitas ibadah umat Islam meningkat tajam dibanding bulan-bulan lain. Grafik ibadah melonjak tinggi, masjid-masjid dan surau-surau ramai didatangi.Bagi yang menjalani ibadah puasa, Ramadhan merupakan bulan latihan. Yang paling sering kita dengar dan umum diketahui, puasa ialah kegiatan melatih kesabaran, menekan berbagai hasrat badani yang selalu menyeruak ke luar mencari pemenuhan. Dan kelak jika orang puasa lulus ujian, mereka diganjar dengan pahala berlipat-lipat.
Di samping sebagai sarana untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, sarana menekan banyak sekali sifat-sifat dan tabiat buruk dan purba manusia, Ramadhan dan puasa juga menawarkan sisi lain yang tak kalah menarik, di antaranya: ia menjadi ajang untuk merajut kebersamaan dan kehangatan bersama orang-orang tercinta.Bagi workaholic atau pecandu kerja yang lupa bahwa ada hari minggu atau tanggal merah, yang lupa bahwa jam kerja hanya beberapa jam saja dalam sehari, jika di hari-hari biasa barangkali mereka pulang ke rumah kala senja telah raib, sebisa-bisanya mereka mencoba pulang sebelum azan magrib berkumandang, sebelum takjil jadi dingin, sebelum istri atau anak-anak mengomel karena mereka telat berbuka demi menunggu sang kepala keluarga pulang dari bekerja.
Bagi anak-anak, momen menanti waktu berbuka merupakan urusan istimewa dan tak tergantikan. Bercengkrama di meja makan bersama kedua orang tua sambil menyeruput dan menyuap rupa-rupa takjil dan camilan sampai perut penuh ialah kemewahan dunia kanak-kanak yang membuat mereka menolak menjadi dewasa dan menua.Bagi mahasiswa yang berjarak dari keluarga, meninggalkan kampung dan merantau ke kota yang jauh, momen awal Ramadhan haram untuk dilewatkan tanpa membersamai keluarga. Teman-teman saya di kampus rata-rata begitu; di hari-hari sebelum Ramadhan menjelang, mereka berusaha sedapatnya untuk pulang karena tidak ingin melewatkan momen sahur dan berbuka di hari pertama Ramadhan bersama ayah, ibu, kakak, dan adik di kampung.
Ada hal berbeda selama bulan Ramadhan yang tidak akan pernah dijumpai di bulan-bulan lain, seperti kegiatan membangunkan sahur ramai-ramai dengan berkeliling kampung. Para remaja, anak-anak, bahkan orang dewasa ikut ambil bagian dalam kegiatan ini. Mereka kompak meneriakkan, dalam irama yang familiar, “Sahuurr, sahur!”, sambil terus menelusuri jalan-jalan utama kampung hingga ke gang-gang. Untuk menambah kemeriahan acara membangunkan warga itu, mereka membawa rupa-rupa perkakas dan barang yang bisa digebuk, yang mengeluarkan bunyi dalam irama gebukan tertentu yang juga familiar.Yang juga tidak kalah mengasyikkan dari kebersamaan yang ditradisikan oleh kedatangan Ramadhan ialah bukber atau berbuka bersama. Tradisi buka bersama di Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan munculnya. Acara berbuka bersama yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia sebetulnya berasal dari tradisi Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW. Hal tersebut berdasarkan hadist yang diriwayatkan Abu Daud; Para sahabat Nabi Muhammad SAW bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang?’ Kemudian, Rasulullah balik bertanya, ”Apa kalian makan sendiri?” Para sahabat menjawab, “Ya.”
Mendengar hal itu, kemudian Rasulullah SAW mengatakan, “Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah Basmalah, maka Allah akan memberikan berkah kepada kalian semua.”Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah makan sendirian. Nabi Muhammad SAW juga pernah mengatakan bahwa sebaik-baik makanan adalah yang dimakan dengan banyak tangan. Hadits tersebut menganjurkan kita untuk makan bersama. Meskipun tidak dijelaskan secara spesifik apakah makan bersama yang dilakukan beliau pada bulan Ramadhan atau di bulan-bulan lain, namun dapat dipahami dari hadits tersebut bahwa boleh jadi Nabi makan bersama saat berbuka puasa atau di hari-hari biasa.
Dalam sebuah fatwa dijelaskan bahwa berbuka bersama hanya diperbolehkan, baik pada puasa Ramadhan ataupun puasa sunnah, apabila pelakunya mampu menghindari sifat-sifat riya (ingin dilihat) dan sifat-sifat sum’ah (ingin didengar). Karena tak jarang ajang buka bersama malah menjadi ajang pamer kebendaan, gengsi, dan status sosial dalam berbagai bentuk dan variannya, seperti kebiasaan memosting kemewahan makanan takjil di medsos yang berpotensi besar melukai banyak hati yang tidak cukup beruntung menikmati aneka takjil semewah itu.Bagi anak-anak, kedatangan bulan Ramadhan menjadi sebuah sinyal: waktu bermain petasan telah tiba, atau waktu bermain petak umpet di malam-malam saat tarawih digelar sudah datang. Bagi mereka, tiada hari tanpa bermain. Apa pun bisa jadi permainan mengasyikkan. Keseruan bermain di mesjid atau di surau saat tarawih makin paripurna karena disemarakkan oleh rupa-rupa jajanan yang bisa dibeli di pelataran masjid atau surau. Selama tarawih berlangsung, para pedagang kaki lima dengan setia menanti sampai anak-anak selesai dan keluar dari masjid untuk jajan.Namun, banyak juga orang-orang tua tidak menyukai anak-anak bermain di masjid saat tarawih berlangsung. Mereka dianggap sebagai biang keributan dan hanya menganggu kekhusyukan ibadah orang dewasa. Tidak jarang orang-orang tua menegur mereka dengan tatapan marah dan mata dipelototkan, bahkan ada yang menggunakan kata-kata tak pantas.Hal ini tentu menjadi pengalaman buruk bagi anak-anak dan bukan tidak mungkin akan membuat mereka jera datang ke masjid. Padahal, seyogyanya orang-orang tua berkewajiban membuat anak-anak betah di masjid, dengan memberi mereka ruang untuk bermain, seperti tradisi yang terdapat pada beberapa masjid besar di Turki, yaitu mengajak anak-anak bermain usai shalat tarawih. Salah satunya dilakukan oleh seorang Imam masjid bernama Mahmut Eroglu. Katanya, “beberapa imam masjid di Turki memang memiliki tradisi mengajak anak-anak bermain di masjid setiap selesai tarawih. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengajarkan anak-anak untuk mencintai masjid sejak dini.”
Pada akhirnya, mengenai pentingnya memperbanyak ibadah dan meningkatkan kualitas ketakwaan selama Ramadhan, biarlah itu menjadi urusan dan tanggung jawab individu setiap muslim yang berpuasa. Yang jadi urusan kolektif atau komunal masyarakat ialah bagaimana menghadirkan kembali semangat kebersamaan dalam merajut Ramadhan antar individu, baik dalam keluarga, atau relasi sosial dalam kelompok masyarakat. Bukankah kegembiraan dan kebersamaan unik yang terajut selama Ramadhan tidak pernah kita alami dan dapatkan di sebelas bulan yang lain? Kali ini Ramadhan kembali datang berkunjung, mengetuk pintu-pintu rumah kita. Mengapa kita tidak membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk dengan riang gembira? karena kehangatan dan kebersamaan yang ditawarkannya, biarpun sebentar saja, tapi merekatkan kita dengan sesama dalam waktu yang lama, sangat lama.(**)