Ramadhan adalah siklus waktu. Ia akan terus berulang: datang dan kemudian pergi. Tetapi makna yang tumbuh di setiap kehadiran bulan ini akan terus berotasi sesuai dengan pengalaman setiap Muslim yang menjalani laku “puasa” di dalam bulan ini. Setiap individu yang menghayati Ramadhan akan sangat berkelidan dengan locus di mana Ramadhan tersebut diberi makna. Apakah sama makna Ramadhan yang dihayati di perkantoran Pemerintah, di pabrik, di masyarakat Petani dan buruh? Apakah sama makna Ramadhan yang dihayati oleh para pelaku suluk dengan makna Ramadhan pada komunitas majelis taklim? Jawaban akan terbuhul dalam bentuk relativisme.Puasanya orang-orang perkantoran sarat dengan “buka bersama”, mengulas tali silahturahmi, yang mungkin melandai akibat berbagai kompetisi. Serba formalistik, dan hanyut dalam ritus sosial saja. Bagi petani dan buruh, bulan Ramadhan adalah “kerutan waktu”: dimana panjang masa kerja akan berkurang, seiring tak normalnya daya tubuh akibat reduksi energi. Berbeda pula dalam tradisi komunitas suluk: Ramadhan adalah locus terbaik mengasah energi spiritual. Memperpendek rasa ilahiah, yang tadinya memanjang akibat jebakan duniawi. Larut dalam proses taqarub, dengan mekanisme yang ketat. Diturunkan sebagai tradisi “yang tak boleh diasak”, dan dirubah.
Lalu, oleh Majelis Taklim Ramadhan akan bertumbuh sebagai bulan pengajian. Mencari pemahaman lewat pengajaran, entah di mesjid, surau, bahkan paling anyar pengajian di rumah. Bagi penceramah, Ramadhan adalah momentum untuk menyampaikan “kaji” lebih intensif. Berbagai ragam kajian dihidangkan, layaknya menu berbuka puasa. Ada daftar mesjid, lengkap dengan penceramahnya. Jamaah bisa memilih sesuai dengan selera mereka. Ketika jamaah lebih suka dengan para penceramah “salafi”, maka pilihannya menghidupkan Ramadhan di mesjid yang berafiliasi dengan salafi. Sholat tarawid dan witir cukup 11 rakaat saja. Ketika jamaah lebih menyukai tradisi ahlusunnah, dengan berbagai asosiasinya, maka bisa datang ke mesjid, dan surau yang mengamalkan tarawih dan witir, genap 23 rakaat.Bagi pemburu konten: Ramadhan menjadi ruang kreasi. Kalau tidak berlebihan, kreasi paling banal, karena Ramadhan dijadikan sebagai momentum untuk melakukan kapitalisasi terhadap religiusitas. Konten dengan tema “charitas, berbagi kepada fuqara’, dan membantu orang yang lemah” menjadi tontotan teaterikal, penuh dengan dramaturgi. Terlepas fenomena ini membuat ditorsi makna Ramadhan, tetapi begitulah Ramadhan dihayati dan diekspresikan secara beragam. Semua entitas mendadak Islami, tetapi tidak sedikit juga yang terjebak pada “psedo-islami”, dimana Ramadhan hanya sebatas kapitalisasi, dan miskin subtansi.
Kendati ragam penghayatan dan ekspresi terhadap Ramadhan, lengkap dengan ritus di dalamnya, dihadirkan oleh berbagai lapisan masyarakat, bulan ini tetap menjadi keberkahan bagi semesta. Tadinya, orang-orang miskin, dan fuqara’ mungkin terabaikan: pada bulan ini mereka “ketiban berkah”, dengan mengalirnya berbagai kebaikan. Pengajian yang tadinya, terbatas dengan jangkauan hanya kelompok yang akrab dengan mesjid dan mushala, di bulan Ramadhan, masyarakat Muslim berduyun datang ke mesjid dan surau, serta meneguk ilmu hingga puas. Shalat jamaah, yang mungkin terabaikan karena dihimpit oleh kesibukan duniawi, di bulan Ramadhan ditingkatkan, dan dilakoni. Kendati hanya sebulan penuh, tetapi peningkatan ini layak diartikan sebagai keberkahan, karena Ramadhan berhasil membuat setiap Muslim berusaha untuk meng-intimi Allah azza wa jalla. Begitulah Ramadhan, dengan keistimewaannya sebagai sebuah siklus waktu. Kendati dalam Islam, semua waktu adalah istimewa, tetapi Ramadhan berbeda dengan bulan lainnya, karena diberikan makna dan arti oleh Allah azza wa jalla.Bahkan dalam lintas sejarah Islam, berbagai peristiwa penting justeru terjadi saat Bulan Ramadhan. Sebut saja, fathul makkah. Saat itu, 13 Ramdhan tahun ke delapan Hijriyah, tepatnya hari Jum’at. Nabi dan para sahabatnya berbaris ber-iring meninggalkan marr az-zahran, singgah sejenak di Dzi-Thuwa. Dari tempat ini Rasulullah dan para sahabat bertolak menuju Makkah. Sebelumnya, Rasulullah, telah mengirim delapan orang sahabat untuk memantau Makkah, dari lembah Idham. Abu Qatadah ditunjuk sebagai pimpinan, sehingga orang berasumsi Nabi Muhammad SAW akan menyerang Thaif. Tujuannya mengecoh kaum Quraisy, agar rencana Nabi untuk membebaskan Makkah tak terendus.Kendati hampir saja rencana Rasulullah dan para sahabat membebaskan Makkah bocor ditangan Hathib bin Abu Balta’ah, karena menulis surat untuk disampaikan pada penduduk Makkah lewat seorang perempuan, yang mengabarkan keberangkatan Nabi dan Sahabat ke Makkah. Tapi kemudian Rasulullah, mengirim Ali bin Abu Thalib menyergap perempuan itu, dan berhasil menangkapnya di Rauhdah Khak. Kira-kira 12 mil dari Madinah. Proses pembebasan Makkah, atau fathul makkah ini dramatis, dengan alur dan konflik yang menegangkan, dan semua proses ini terjadi di bulan Ramadhan.Begitu cara Allah SWT memberikan arti pada Ramadhan. Ia tuliskan satu peristiwa yang menjadi pilar tauhid. Membebaskan kota suci dari kemusyirikan, dan agama imajinatif dan khayali menyembah berhala. Lapar dan haus, tak menjadi penghalang bagi Nabi dan Para Sahabat membebaskan kota suci. Tak hanya keringat yang mengalir, bahkan darah pun bersimbah, hingga menjadi penanda terpancarnya tauhid dari kota suci, Makkah. Saat itu histeria kemenangan, menjadi satu makna bagi bulan Ramadhan, yakni “pembebasan”, yang kemudian dikenang sebagai fathul makkah.
Ramadhan menghadirkan satu makna, yakni “pembebasan” di antara makna lain, yang tak kalah heroiknya di mata seorang sufi Ibnu Arabi. Ada satu makna imajiner yang ditasbihkan Ibnu Arabi terhadap Ramadhan. Dalam imajinasi Ibnu Arabi, Allah SWT berkata langsung kepada orang berpuasa: “Akulah yang menjadi imbalannya. Karena pada Aku-lah sifat pelepasan dari makanan dan minuman (tanzih min sifatil-makhluk). Aku memberikan sedikit rasa lapar dan haus, yang sejatinya kontradiksi dengan sifat dasar manusia, yang selalu lapar dan senantiasa haus. Pengalaman lapar dan haus diberikan, agar para Muslim yang berpuasa mampu menempatkan diri pada dzat Allah. Ia menjadi pengekangan jiwa, agar terpancar rasa sabar dari ritus ini. Pengekangan itu dilakukan atas dasar perintah Allah SWT.”Jadi, pengekangan itu didasarkan atas kehendak Allah, bukan kehendak manusia. Begitulah Ramadhan, dengan makna imajiner ahli sufi. Ia dimaknai sebagai momentum “pengekangan diri” untuk kemudian menjadi wadah, agar mampu menyatu dengan Allah SWT, dan mengarungi lautan ma’rifat, hingga “sampai” pada Allah azza wa jalla. Semoga saja, Ramadhan bagi setiap individu, menjadi momentum terbaik dan terindahnya, dalam segala bentuk subjektifitas dan pengalaman personalnya. Hidup dan terus tumbuh.(*)