Menjadikan Infaq Bermakna

Foto Harian Singgalang
×

Menjadikan Infaq Bermakna

Bagikan opini

Bagi seorang muslim, kata infaq bukanlah sesuatu yang asing, terlepas apakah pemahaman tentang infaq yang digunakan benar atau tidak. Yang pasti, secara syar’i, infaq diartikan sebagai tindakan menyisihkan atau mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah.Infaq, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah seperti sedekah bisa ditunaikan secara terang-terangan atau bisa juga dirahasiakan atau sembunyi-sembunyi. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 271 Allah berfirman: " Jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu dan Allah menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Terkait ayat itu, Quraish Shihab dalam Al Misbah menjelaskan: “Jika kamu menampakan sedekah (mu) maka itu adalah baik sekali selama sedekah itu didasari keikhlasan dan bukan semata-mata memilih yang buruk untuk diberikan. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu karena ini lebih mencegah lahirnya riya dan pamrih serta lebih memelihara air muka kaum fakir yang menerimanya.

Bernilai atau tidaknya dua cara berinfaq tersebut, akan sangat bergantung pada tujuan dan adab pelaksanaannya. Oleh karena itu, kita tidak boleh beranggapan dan merasa yakin bahwa berinfaq dengan cara rahasia itu sebagai bentuk jaminan diterimanya di sisi Allah. Sekalipun infaq secara sembunyi-sembunyi merupakan salah satu cara menuju keikhlasan, namun bila tidak diberikan secara ikhlas karena Allah, tetap saja ia tidak akan bermakna bagi pencapaian tujuan amalan itu. Dalam situasi dan kondisi tertentu, orang yang berinfak dengan terang-terangan pun nilainya bisa melebihi orang yang berinfak secara sembunyi-sembunyi, bila keikhlasannya disertai semangat dakwah untuk memotivasi orang lain mengeluarkan hartanya di jalan Allah atau untuk menutup pintu prasangka buruk orang lain yang menjerumuskan penyangka ke dalam dosa.  Namun, bila tidak disertai dua alasan tersebut, maka infaq secara rahasia jauh lebih baik.Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan lima manfaat sedekah sunah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pertama, melindungi kerahasiaan si penerima sedekah. Sedekah yang dilakukan secara terang-terangan bisa merendahkan martabat si penerima. Sementara sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tidak menyebabkan si penerima meminta-minta.

Kedua, sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi akan menyelamatkan si penerima dari gunjingan orang banyak. Sebab, sedekah sunah yang dilakukan secara terang-terangan terkadang menimbulkan kedengkian dan buruk sangka orang banyak terhadap si penerima. Ketiga, sedekah secara rahasia dapat membantu si pemberi memperoleh keutamaan beramal. Keempat, sedekah yang dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dapat mencegah kehinaan dan kerendahan diri pemberi maupun penerimanya. Sebagian ulama yang berorientasi pada kepentingan akhirat tidak mau menerima sedekah sunah yang dilakukan secara terang-terangan, karena menurut  mereka, sedekah sunah yang dilakukan dengan cara terang-terangan sama dengan menghinakan ilmu, dan sekaligus melecehkan kemuliaan ulama. Kelima, meningkatkan kewaspadaan agar tidak terjerumus pada kesyirikan. Artinya, membuat amal sedekah tidak murni karena Allah swt, seperti riya’, sum’ah, sombong dan lainnya.Apa yang dijelaskan Imam Ghazali tersebut juga sejalan dengan tujuan utama menafkahkan harta di jalan Allah. Pertama, Mardhat Allah, yaitu mengeluarkan hartanya di jalan Allah untuk mengharapkan ridha Allah yang berkesinambungan. Kedua, tatsbitan min anfusihim, yakni pengukuhan atau keteguhan jiwa, yang bermakna infaq yang diberikan itu dalam rangka mengasah dan mengasuh jiwa sehingga dapat memperoleh kelapangan dada dan keteguhan jiwa dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.

Agar dua tujuan tersebut tercapai, berinfaq mesti memperhatikan adab dalam pelaksanaanya. Adab tersebut setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, tidak menyebut-nyebut pemberian, baik di hadapan yang diberi ataupun pada orang lain. Bukan hanya pada saat pemberian, tetapi juga di kemudian hari setelah masa yang berkepanjangan berlalu dari masa pemberian. Memang ada orang saat memberi, melakukannya secara tulus, bahkan mungkin rahasia, tetapi beberapa lama kemudian dia menceritakan pemberiannya kepada orang lain yang mengakibatkan yang diberi merasa tersinggung perasaannya. Kedua, tidak menyakiti hati orang yang diberikannya, baik dengan kata-kata maupun dengan sikap. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 263, Allah menegaskan pentingnya ucapan yang menyenangkan dan pemaafan dari pada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakiti (perasaan si penerima). Ketiga, yang diberikan hendaknya yang baik -baik, jangan sampai dengan sengaja memilih yang buruk untuk dinafkahkan.Apabila dua tujuan utama berinfaq disertai tiga adab tersebut, Niscaya Allah SWT akan melipat gandakan nilainya seperti perumpamaan seorang petani yang menaburkan sebutir benih. Sebutir benih yang ditanamnya menumbuhkan tujuh butir, dan setiap butir terdapat seratus biji. Bahkan perumpamaan yang lebih mengagumkan dari itu untuk orang-orang yang dikehendakinya, yaitu seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat, jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun/ hujan gerimis pun memadai. Hal ini ditegaskan Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 261-265.

Dengan memahami hakikat berinfaq, mengetahui tujuan, cara serta adab pelaksanaannya, akan menjadi kunci penentu apakah infaq yang diberikan bermakna sebagai ibadah atau tidak. Semoga ibadah infaq yang dilakukan setiap muslim selama Ramadhan ini selalu dilakukan dalam kerangka sebagaimana telah dijelaskan. Wallahua’lam bissawab.(*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini