Menapaki Nilai Pendidikan di dalam Ibadah Puasa

Foto Harian Singgalang
×

Menapaki Nilai Pendidikan di dalam Ibadah Puasa

Bagikan opini

Tabuh di senja Sya’ban berdentum sebagai tanda Ramadhan sudah datang. Kedatangannya menggantikan hari, minggu, dan bulan yang tidak akan pernah datang kembali (tamanniy). Bak kata Imam Ghazali “sesuatu yang paling jauh darimu adalah masa lalu; sesuatu yang paling dekat denganmu adalah kematian”. Sebelum Ramadhan itu berlalu seperti berlalunya Sya’ban, ada titik terang yang mesti dibuhuli dan dipetik dari ibadah puasa. Dalam hal ini, tentunya nilai pendidikan di tengah ramainya nilai yang terkandung di dalamnya. Disadari ataupun tidak, ibadah puasa yang dilaksanakan memiliki kondisi di luar kebiasaan hidup yang selalu dijalani, seperti dikondisikan untuk berlapar dan haus di siang hari; dan serta segala bentuk yang pada prinsipnya dibolehkan atau diwajibkan, tetapi dengan kedatangan bulan Ramadhan, aktivitas kehidupan terkondisikan dalam wadah tertentu (lapar dan haus di siang hari, serta beribadah tarawih di malam hari –qiyam al-lail fi Ramadhan).Kondisi di atas memantik makna bahwa proses pendidikan sedang berlangsung secara apik. Proses penyadaran –sebagai makna dasar pendidikan– terkondisikan melalui tuntutan hukum. Umat Islam wajib menahan diri dari segala bentuk yang membatalkan ibadah puasa, seperti larangan untuk makan, minum, dan sejenisnya. Dalam hal ini, seluruh umat Islam –tanpa menafikan ada yang tidak melaksanakan ibadah puasa– senantiasa melaksanakan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya. Orang kaya membagikan sebagian hartanya melalui aktivitas sedekah harta seperti pendistribusian ta’jil, yang sangat berpotensi terdistribusikan kepada orang miskin. Orang miskin merasa bersyukur atas nikmat Allah, yang mungkin saja di bulan lain tidak merasakan kenikmatan tersebut. Oleh sebab itu, nilai kesetaraan hidup (egaliter) terselip di balik ibadah puasa.

Di sisi yang sama, ibadah puasa memberikan semangat perjuangan dengan nilai ibadah akan dibalasi dengan berlipat ganda. Paling tidak, kondisi objektif ini merefleksikan beberapa hal, yaitu: pertama, pembentukan kesadaran pentingnya rasa kasih sayang sesama umat manusia dan ciptaan Allah Swt. Dalam konteks ini, umat Islam diajarkan nilai egaliter tanpa membedakan kelas jabatan, ras, suku, agama, ataupun bangsa. Nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada nilai jabatan, ras, suku, agama, ataupun bangsa. Sebab, terdapat sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di dekat sebuah sumur. Perempuan itu berkata: anjing ini hampir mati karena kehausan. Lantas, dia melepaskan sepatunya dan mengikatinya dengan selendang yang dipakainya serta mengambil air dari dalam sumur, kemudian air itu diberikan kepada anjing, sehingga anjing dapat beraktivitas seperti biasa”. (H.R. al-Bukhari). Atas dasar itu, ibadah puasa menjadi proses penting pembentukan kesadaran umat Islam agar bisa saling berkasih sayang dengan penuh kesantunan sesama makhluk ciptaan Allah Swt.Kedua, pembentukan kesadaran pentingnya pembungkaman dan pemusnahan rasa dan jiwa kesombongan yang terdapat di dalam diri. Disadari ataupun tidak, ibadah puasa yang dilaksanakan merefleksikan –sedikit banyaknya– tentang potret kondisi haus dan lapar di padang mahsyar kelak. Sekiranya kehausan dan kelaparan berpuasa di dunia, masih diharap ada masa dan waktu berbuka ketika matahari tenggelam. Namun, rasa kehausan dan kelaparan di akhirat kelak tiada tempat penantian yang pasti. Sementara masa penantian itu sangatlah panjang dan jauh. Apakah lagi yang mesti disombongkan atau akankah disimpan jua kesombongan di dalam jiwa? Atas dasar itu, ibadah puasa memiliki nilai penyadaran akan pentingnya kesantunan, kelemah-lembutan, serta tawadhu’ (rendah hati) berjalan di atas permukaan bumi, serta jangan pernah menyombongkan diri (Q.S. al-Isra’: 37).

Ketiga, pembentukan kesadaran pentingnya bersyukur atas nikmat Allah Swt. Dalam hal ini, ibadah puasa yang dilaksanakan sejak terbit fajar (waktu Subuh) sampai tenggelam matahari (waktu Maghrib) memberikan rasa haus dan lapar yang bersangatan. Mata sulit untuk dibawa tidur dalam waktu bersamaan perut tidak berisi apapun. Ketika waktu berbuka datang, perut mulai terisi kembali dan dalam waktu bersamaan matapun ikut mengantuk untuk dibawa tidur. Akan tetapi, kesadaran tentang pentingnya qiyam al-lail fi ramadhan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi dapat diatasi demi mewujudkan rasa syukur atas nikmat Allah Swt. Namun, tetap saja bahwa potret umat Islam yang mampu mensyukuri nikmat itu masih sedikit (Q.S. Saba’: 13). Atas dasar itu, semestinya ibadah puasa yang dijalankan merefleksikan karakter manusia yang bersyukur.Beranjak dari proses penyadaran –sebagai dasar pendidikan– mesti digeser menjadi sebuah pembudayaan –sebagai tiang pendidikan–. Rasa kesetaraan, rasa kasih sayang, rasa kesantunan dan tawadhu’, dan rasa syukur atas nikmat Allah, mesti dibudayakan. Dalam hal ini, ibadah puasa yang dilaksanakan selama satu bulan menjadi wadah pendidikan dan pelatihan jiwa dan mental, agar pasca Ramadhan menjadi sebuah kebudayaan diri. Jiwa dan mental yang memiliki kesetaraan hidup dengan makhluk lainnya memberikan arti penting agar roda kehidupan berjalan dengan baik. Begitu juga, kesetaraan hidup (egaliter) tidak berfungsi pada saat rasa kasih sayang, kesantunan dan ketawadhu’an, serta rasa syukur, tidak dapat menjadi rel yang mesti dilewati. Atas dasar itu, kebudayaan –sebagai tiang pendidikan– menjadi kokoh pada saat dibangun di atas keimanan yang merefleksikan dari nilai egaliter dalam buhulan rasa kasih sayang, kesantunan dan ketawadhu’an, dan rasa syukur atas nikmat Allah Swt.

Terakhir, bangunan kesadaran dan kebudayaan belum merefleksikan arti pendidikan pada saat dia tidak mampu memberdayakan orang lain dengan nilai-nilai di atas. Pemberdayaan umat menjadi sebuah tuntutan penting dalam kehidupan sebagaimana dimaksud di dalam Q.S. Ali Imran: 110. Dalam konteks ini, pasca Ramadhan, umat Islam mesti menjadi suri tauladan serta sosok pemberdayaan umat Islam dan lainnya dalam aspek penyemaian nilai-nilai egaliter di hadapan hukum Allah dengan cara menyeru mereka agar selalu berbuat kebaikan dan kebenaran; mencegah mereka agar tidak terjebak dan terjerumus ke dalam kemunkaratan. Sebab, penyebab utama kegagalan di dalam penyemaian nilai egaliter itu adalah hilangnya rasa kasih sayang, rasa kesantunan dan ketawadhu’an, serta hilangnya rasa syukur terhadap nikmat Allah. Sementara yang kekal di jiwanya hanyalah kesombongan, keangkuhan, dan memperturutkan hawa nafsu untuk menguasai orang lain dan makhluk-Nya. Atas dasar itu, kegagalan dalam pemberdayaan umat mencerminkan kegagalan proses penyadaran dan pembudayaan selama bulan Ramadhan.Wallahu’alam bi al-Shawab !!!

Penulis adalah Dosen Ma’had Ali Syekh Sulaiman Arrasuli/ Anggota Majelis Mustayar Tarbiyah Islamiyah Sumatera Barat.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini