Keluarga Ramadhan

Foto Harian Singgalang
×

Keluarga Ramadhan

Bagikan opini

Ramadan tidak dipungkiri bermakna sosiologis. Ramadan menjadi momentum untuk merekatkan kembali hubungan antar sesama.Menjelang dan selama berlangsungnya Ramadan, ragam hajatan digelar dengan maksud tersebut. Tidak terkecuali di Sumatera Barat. Mulai dari Balimau ketika memasuki Ramadan, hingga beberapa tradisi lain seperti malamang dan marandang terlaksana - dan tidak jarang dirancang- dengan sungguh-sungguh agar semangat kebersamaan dan kehangatan dapat berkobar kembali.

Dalam lingkup yang lebih intim, seperti keluarga, hajatan tersebut tak kurang jumlahnya. Manjalang bako dan manjalang mintuo menjadi beberapa agenda yang tidak dilewatkan. Tidak jarang, dengan nilai sosiologis yang bercampur dengan tradisi kebudayaan yang kuat pula, hajatan manjalang keluarga ini diupayakan dengan serius, mulai dari apa yang hendak dibawa hingga pakaian yang dikenakan. Semuanya mendapatkan perhatian khusus.Dalam keluarga inti begitu jua. Istri biasanya akan menyiapkan menu spesial untuk suami dan anak-anaknya, untuk berbuka dan sahur. Komunikasi anggota keluarga juga tidaklah sama dengan hari biasa. Candaan saat berbuka, semarak untuk tarawih, hingga sorakan untuk sahur menjadi hiasan keluarga. Semua ini menjadikan Ramadan sebagai instrumen yang memperkuat keharmonisan.

Agar Tidak SeremonialJika tesis yang menunjukkan bahwa basis kebudayaan Minangkabau terletak pada tatanan keluarga masih dapat dipertahankan, Ramadan dalam artian di atas tentu akan semakin syahdu. Terlebih lagi dalam transformasi sosial yang demikian derapnya. Keluarga yang terbentuk dari pernikahan pasangan yang berlainan nagari, anak-anak yang tubuh di kota berjarak dari keluarga saparuik-nya, dan rumah mande yang disinggahi sesekali, menjadikan Ramadan – lengkap dengan tradisi kekeluargaannya- sebagai momen yang ditunggu.

Namun apakah gambaran tersebut sudah dapat mewakili keharmonisan keluarga di Sumatera Barat. Ini menjadi pertanyaan penting lain yang perlu dijawab secara khusyuk. Hal ini mengingat beberapa laporan dan riset yang dilakukan lembaga publik beberapa tahun terakhir yang menyoroti soal tersebut. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan misalnya. Lembaga yang fokus memantau pelanggaran hak perempuan tersebut menyebutkan keluarga belumlah menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Demikian disimpulkan karena masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam keluarga, baik dilakukan oleh pasangan maupun kerabat dekat.Sumatera Barat bukan pengecualian. Dalam dua tahun terakhir, Komnas Perempuan menyebutkan terdapat setidaknya 9.097 dan 8.723 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di provinsi ini. Angka tersebut menjadi angka kumulatif dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan sehingga mendudukkan provinsi Bundo Kanduang ini pada urutan ke-11 dalam jumlah laporan terbanyak nasional (2023).

Meski tidak seluruh angka tersebut masuk dalam kategori kekerasan dalam keluarga (karena ditemui juga pelanggaran hak perempuan di ranah komunal dan negara), namun kepentingan perlindungan hak perempuan dalam keluarga tidak berkurang. Hal ini didukung dengan peningkatan angka perceraian (BPS, 2022.) dan kerentanan perempuan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (Harian Singgalang, 26 November 2022).Data-data tersebut tidak dapat ditolak sebagai bagian kenyataan hidup aktual di Sumatera Barat. Ini bukan celaan. Namun sebaliknya, informasi yang diberikan laporan tersebut hendaknya dapat menjadi bahan refleksi untuk melihat kembali ruang sosial kita.

Mendiamkan fakta aktual tersebut juga tidak elok. Tidak hanya demikian akan membuat kita abai dengan problema di sekitar, karena tidak menutup kemungkinan fakta-fakta tersebut ada persis di samping kita, namun juga dapat menjadikan imaji tradisi-tradisi yang disebutkan tadi menurun sebagai selingan, hiburan, atau pagelaran dan seremonial belaka.Dalam konsekuensi yang lebih besar, pengabaian tersebut tentu akan berlanjut pula pada  tesis tentang keluarga dalam kebudayaan Minangkabau tadi. Bukankah demikian menunjukkan adanya kerapuhan?

Agar Tidak TemporalTantangannya saat ini adalah menjadikan Ramadan sebagai momentum yang berkelanjutan. Ini berarti mempertahankan formula Ramadan -yang berhasil menghangatkan keharmonisan keluarga- untuk masa-masa setelahnya. Dengan perangkat sosial yang ada, ditambah dengan rekonstruksi sosial, setidaknya dapat ditemukan tiga upaya yang berkaitan.

Pertama, komitmen keagamaan. Tentu saja ini menjadi dasar utama. Kemeriahan Ramadan tak dipungkiri juga disandikan dengan argumen-argumen keagamaan yang legitimit. Ini formula baik yang patut dikembangkan. Ini juga berarti tanggung jawab para ulama untuk menerjemahkan pesan-pesan keagamaan secara universal.Mengambil hikmah Ramadan, para ulama dituntut untuk mengembangkan pesan-pesan keagamaan yang berorientasi (maqashid) ketakwaan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak (dakwah) masyarakat menuju laku konstruktif (al-jalb mashalih), seperti berupaya untuk pemenuhan hak (al-hurriyah); bersikap adil (al-adl); terus-menerus berbuat baik (isthibar) tolong menolong (ta’awun) dan pemulihan (al-afwu). Nilai-nilai tersebut dapat menjadi landasan dalam pemberdayaan dan pembangunan keluarga.

Kedua, komitmen kebudayaan. Jika ditelisik lebih dekat, tradisi jalang-manjalang antar anggota keluarga yang jamak dilangsungkan selama Ramadan, juga bagian dari usaha kebudayaan untuk saling “mengawasi” dan “berkomunikasi.” Ini secara tidak langsung tampak dalam pilihan topik obrolan saat jalang-manajalangi. Tema-tema seperti kondisi rumah, pekarangan, kesehatan, sawah/ladang, hingga pertumbuhan anak diperbincangkan. Demikian ditautkan sebagai pengetahuan dan keresahan bersama. Bukankah topik-topik ini juga yang acap menjadi pangkal pertikaian dalam keluarga, jika tidak terselesaikan dengan bijaksana?Namun, mekanisme pengawasan yang berkarakter primordial ini nyatanya tidak mudah dilakukan saat ini, layaknya dibayangkan dahulu. Tatanan keluarga modern, dengan sumber pendapatan dan otoritas yang terbelah, nyata telah menjadi tantangan yang tidak dapat dielakkan. Ini perlu disikapi pula dengan arif dan beretika.  Jika tidak awas, tema-tema obrolan tadi justru akan dianggap sebagai selidik yang bertendensi mengurusi urusan orang lain. Tentu saja demikian tidak akan berbuah sama sebagaimana yang diharapkan.

Ketiga, komitmen pemerintah. Tingginya laporan kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang disebutkan, menuntut pemerintah untuk turut mengambil sikap. Pelaksanaan peraturan dan kebijakan yang sebelumnya telah ditetapkan, seperti Peraturan Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 tahun 2013 yang disempurnakan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2021, perlu dievaluasi dan dimonitoring. Pencegahan, pengawasan, perawatan, dan rehabilitasi yang menjadi esensi Perda ini perlu ditingkatkan dengan peran aktif pemerintah dalam memeriksa akar persoalan.Bukan rahasia lagi bahwa kekerasan terhadap perempuan, seperti KDRT, menjadi persoalan yang tidak nyaman dibicarakan korban secara terbuka. Tidak jarang pula pranata yang diharapkan mencegah terjadi kekerasan justru menjadi perintang korban untuk menyuarakan hak mereka. “Malu wak,” atau “Baa-lah nasib kalau diadukan,” masih membayangi di tengah perangkat sosial yang tidak berorientasi korban. Belum lagi dengan mamak atau datuk yang mungkin tidak selalu sedia dalam persoalan-persoalan seperti ini. Tentu demikian akan semakin memberatkan korban.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini