Puasa dan Jihad; Dua Ibadah, Satu Arah

Foto Harian Singgalang
×

Puasa dan Jihad; Dua Ibadah, Satu Arah

Bagikan opini

Ramadhan adalah bulan yang sangat spesial, terutama bagi umat Islam. Beberapa keutamaan dan keistimewaannya yang dapat kita simpulkan adalah :Pertama, Ramadhan adalah bulan turunnya Al-Qur’an. Jelas disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya; “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil)” (QS. Al Baqoroh : 185). Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan sebagai penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu sendiri, pertama sekali diturunkan di bulan Ramadhan.

Kedua, Ramadhan adalah waktu yang Mustajab untuk Berdoa. Nabi Muhammad di dalam haditsnya mengingatkan kita agar senantiasa memperbanyak doa di bulan Ramadhan karena bulan ini merupakan waktu yang mustajab (dikabulkannya) untuk berdoa kepada Allah; “Setiap muslim memiliki doa yang mustajab (terkabulkan) yang ia berdoa dengannya pada bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad). Dan juga dalam sabda Rasulullah; “Tiga hal yang tidak tertolak doa mereka : orang yang puasa ketika berbuka, imam (pemimpin) yang adil, doa orang yang terdzalimi.” (HR. Ahmad)Ketiga, Ramadhan adalah bulan yang diberkahi oleh Allah SWT. Rasulullah SAW dalam haditsnya menjelaskan; “Apabila datang bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka,dan setan-setan diikat (dibelenggu).” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah mengindikasikan bahwasanya bulan suci Ramadhan adalah bulan yang diberkahi oleh Allah SWT. Maka memperbanyak membaca dan mengamalkan isi Al-Qur'an serta memperbanyak doa didalamnya sangatlah dianjurkan.

Keempat, Puasa Ramadhan adalah Salah Satu Rukun Islam. Keistimewaan terkhusus dan terutama di bulan Ramadhan adalah perintah Allah kepada manusia untuk berpuasa sebulan penuh dengan turun Firman-Nya; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. “(Al-Baqarah: 183). Dikuatkan oleh Rasulullah dalam haditsnya juga; “Islam didirikan di atas lima sendi, yaitu: syahadat; tiada sembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke Baitullah; bagi yang mampu (melaksanakannya). ” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai derajat takwa, dan salah satu sebab mendapatkan ampunan dosa, pelipatgandaan kebaikan, dan pengangkatan derajat. Allah SWT telah menjadikan puasa sebagai ibadah manusia yang terkhusus untuk diri-Nya dari amal-amal ibadah lain. Firman Allah SWT dalam hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung yang akan membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum dari pada aroma kesturi.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Dan ditambahkan oleh sabda Nabi SAW: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. ” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).

Mengapa berpuasa?Perintah puasa Ramadhan disyariatkan pertama kali pada tahun kedua Hijriah. Tepatnya pada satu setengah tahun setelah Rasulullah SAW dan umat Islam berhijrah dari Kota Mekah ke kota Madinah, juga bertepatan setelah umat Islam diperintahkan memindahkan kiblatnya dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.

Sebelum adanya syariat itu, Nabi Muhammad SAW pernah menjalankan puasa Asyura yang jatuh pada 10 Muharram sebagai sebuah keharusan. Hal ini dilakukan lantaran Nabi Musa AS dan kaumnya melakukan hal serupa sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT karena berhasil selamat dari kejaran Fir’aun.Untuk menjadi pembeda bagi umat Islam dengan Yahudi, Nabi SAW meminta agar umatnya juga menjalankan puasa pada tanggal 9 dan 11 Muharram. Perintah itu juga dirilis pada awal tahun kedua Hijriah. Namun beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada hari Senin tanggal 10 bulan Sya’ban, Nabi SAW menerima wahyu tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan melalui QS. Al-Baqarah ayat 183. Ayat ini sekaligus menggugurkan kewajiban berpuasa di hari Asyura dan menjadikannya sebagai puasa sunnah.

Hal tersebut juga disampaikan oleh istri Nabi SAW, Ibunda Aisyah RA, kepada para sahabat: “Orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah melaksanakan puasa hari Asyura dan Rasulullah melaksanakannya. Ketika tinggal di Madinah, beliau tetap menjalankannya dan memerintahkan orang-orang untuk melaksanakannya pula. Setelah diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkannya. Maka siapa yang menghendaki, silahkan berpuasa dan siapa yang tidak menghendaki, silahkan meninggalkannya.” (HR. Abu Dawud No. 2442).Puasa Ramadhan sebagai Jihad

Ramadhan di tahun kedua Hijriah juga merupakan bulan penuh arti bagi umat Islam. Bukan hanya menjadi awal pelaksanaan puasa wajib, namun juga bertepatan dengan terjadinya Perang Badar, salah satu perang besar yang terjadi di zaman Nabi. Dengan komposisi pasukan yang jauh dari kata seimbang, 313 pasukan muslim berbanding jauh dengan 1000 pasukan quraisy. Wajar saja jika perang tersebut dianggap sebagai jihad yang berat di masanya. Namun sepulang dari perang tersebut Nabi Muhammad SAW justru menyampaikan bahwa masih ada jihad yang lebih besar lagi.“Kalian semua telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran yang lebih besar. Lalu ditanya sahabat (kepada Nabi), pertempuran besar apakah wahai Rasulullah? beliau menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu’.” (HR. Baihaqi).

Banyak ahli menilai bahwa hadis di atas sanadnya lemah (dhaif), namun makna yang terkandung di dalamnya dapat diterima. Hadis tersebut memperingatkan kita bahwa sejatinya jihad tidak melulu soal perang. Terlebih ketika berpuasa, jihad terbesar manusia justru melawan hawa nafsunya sendiri. Menjadi penting bagi muslim untuk menahan diri dari melakukan hal yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain, baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.Hal itu dikuatkan oleh hadis yang menyatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling utama; “Mukmin yang paling utama keislamannya adalah umat Islam yang selamat dari keburukan lisan dan tangannya. Mukmin paling utama keimanannya adalah yang paling baik perilakunya. Muhajirin paling utama adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. Jihad paling utama adalah jihad melawan nafsu sendiri karena Allah.” (Hadis ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, dan Shahih Ibn Hibban).

Puasa adalah sebesar-besarnya JihadInti dari puasa adalah menahan, sebagaimana arti shaum secara bahasa adalah imsak (menahan). Dalam fiqih, puasa dimaknai sebagai menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Jika mengacu pada definisi ini, tampaknya kesan berat dari puasa belum tergambar secara utuh, apalagi di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, yang sebagian besar penduduknya berpuasa dan menghormati orang berpuasa. Kondisi lingkungan semacam ini tentu sangat mendukung untuk melalui lapar dan dahaga dengan relatif ringan.

Kesannya akan menjadi lain, ketika kita geser makna ‘menahan’ tersebut pada pengertian yang lebih hakiki, yakni menahan diri dari nafsu untuk berbuat buruk. Artinya, puasa tidak hanya berhubungan masalah perut dan kelamin saja, tetapi juga jiwa manusia untuk selalu terhindar dari perbuatan tercela (al-Akhlaq al-Madzmumah). Karena itu, yang harus dijaga bukan satu atau dua anggota badan saja, melainkan seluruh anggota tubuh agar berlaku sesuai tuntunan syariat-Nya.Konsekuensi dari itu semua adalah tuntutan untuk tidak hanya menjaga mulut dari makanan, tetapi juga dari perkataan kotor, ucapan yang menyakiti orang lain, bohong, obrolan yang sia-sia, ghibah, fitnah, adu domba, dan ungkapan-ungkapan yang bisa merusak hubungan sosial. Tidak cuma menahan kaki dan tangan dari perjalanan menuju restoran di siang bolong melainkan juga dari perbuatan maksiat dan mendzalimi orang lain. Bukan sekadar mencegah telinga dari masuknya benda-benda, tetapi juga dari masuknya gosip, ghibahan, fitnahan dan informasi yang tidak berguna. Bukan hanya memalingkan mata dari melihat makanan dan minuman serta gambar yang tidak senonoh, tapi juga dari melihat hal-hal yang keji dan mungkar.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini