Penambangan batubara di Sawahlunto yang masih berlangsung hingga kini menjadi bukti potensi batubara Ombilin masih cukup signifikan. Dan sudah pasti teknologi pertambangan mutakhir lebih akurat menentukan posisi dan potensinya yang masih tersisa untuk dikeluarkan. Namun, meskipun sudah banyak yang membahas ada baiknya mengulang kilas potensi tambang batubara menurut teknologi abad 19 oleh para insinyur Eropa yang perdana melakukan observasi. Sekedar mengulang-ulang kaji lama.Kajian awal potensi tambang mineral Sumatera Barat sebenarnya bukan di Ombilin tapi di daerah seputar Danau Singkarak XX Kota. Misi itu diemban oleh insinyur Belanda, Otto FUJ Huguenin (1827-1871), dan kemudian melahirkan karya yang terbit 1854: Mijnbouwkundig Onderzoek der Koperertsen in de Residentie Padangsche Bovenlanden (Penelitian Potensi Tambang Biji Tembaga di Padang Darat). Dia mengidentifikasi melimpahnya berbagai mineral berharga di kawasan tersebut, seperti bijih tembaga, bijih besi, ada juga sedikit emas dan perak, tapi Huguenin belum menyarankan penambangan karena biaya yang terlalu besar.
Namun, untuk penambangan batubara Ombilin memang setidaknya ada tiga orang Eropa yang berjasa dalam sejarah awalnyas: Willem Hendrik De Greve (1840-1872), Rogier Diederik Marius Verbeek (1845-1926) dan Jacobus Leonardus Cluijsenaer (1843-1932). Ketiganya berlatar spesisikasi yang berbeda, tapi punya perhatian yang sama untuk mengolah potensi mineral di Sawahlunto dan bagaimana cara mengangkutnya. Kalau De Greve memang insinyur tambang, tapi Verbeek lebih sebagai geolog dan Cluijsenaer jauh lagi: ahli rel kereta api.Sama seperti Huguenin, de Greve sebenarnya ditugaskan mencari bijih tembaga tapi malah menemukan batubara. Dalam karyanya yang terbit di Den Haag tahun 1871, Het Ombilien-Kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust (Kawasan Batubara Ombilin di Padang Darat dan Sistem Transportasi di Sumatera Barat), de Greve menyebutkan bahwa dia sudah tiga tahun ditugaskan melakukan observasi geo-gnostis Sumatera dengan misi khusus mempelajari sistem transportasi yang dapat dikembangkan di sana. Dalam observasi dia menemukan bahwa potensi batubara sangat kaya di kedua belah sisi aliran sungai Ombilin mulai dari Sidjanten hingga Pamoeatan. Daerah sekitar lembah Boele-rottan (Buluah Rotan) merupakan sayap Utara deposit batubara, dengan potensi 36 juta ton. Sementara itu, sayap Selatannya, Sungai Durian, lebih luar biasa lagi: setidaknya 270 juta ton batubara! Menurut De Greve kualitas batubara di sana superior. Bahkan di bagian permukaan pada kawasan Sapandalam, boekit Barasso dan Soengei-Doerian kualitasnya masih cukup bagus. Lapisan-lapisan batubara yang ditemukan kebanyakan sangat murni, tanpa tercemar oleh batuan lain.
Setelah membahas potensi batubara, De Greve merancang bagaimana cara mengangkutnya. Pertama, dia mengusulkan batubara diangkut lewat Sitinjau Laut ke Padang, dan menaksir total biaya pembangunan rel serta ongkos eksploitasi sebesar 5,7 juta gulden. Rincian rencana selanjutnya membayangkan berbagai koneksi rel lain di Sumatera Barat yang akan menelan 16 juta gulden. Namun, untuk lebih terkoneksi dengan perdagangan dunia, hubungan ke Pantai Timur Sumatera musti diupayakan juga. Karenanya, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia menugaskan De Greve mencari tahu apakah sungai Indragiri layak dialiri untuk mengangkut hasil tambang melalui keputusan 17 April 1872. Namun, De Greve menemui ajal dalam misi tersebut, perahunya terbalik dan dia terbawa arus deras. Mayatnya baru beberapa hari kemudian ditemukan tersangkut di antara cabang-cabang kayu, dan dikubur di Durian Gadang, Silokek.Misi observasi geologis De Greve dilanjutkan oleh RDM Verbeek. Dalam laporannya (Verslagen No. 3 & 4) tahun 1875, dia mengkonfirmasi temuan De Greve bahwa memang paling kurang 200 juta ton batubara bisa digali di Sawahlunto, jauh memenuhi kebutuhan tahunan seluruh Hindia Belanda kala itu sebesar 100.000 ton. Observasi lebih lanjut RDM Verbeek dituangkan dalam karyanya setebal 700-an halaman dan terbit di Batavia pada 1883: Topographische en geologische beschrijving van een gedeelte van Sumatra's Westkust (Deskripsi Topografis dan Geologis Sebagian Wilayah Sumatera Barat). Karya Verbeek ini sungguh sangat berharga selain karena merangkum karya geologis sebelumnya, juga merinci detail potensi mineral pada sejumlah daerah di Sumbar.
Dia menyebut bahwa batubara merupakan satu-satunya mineral yang layak ditambang secara teknis dalam skala besar di Sumatera Barat. Masalah besar mengapa begitu lama batubara sepanjang Ombilin tak kunjung ditambang karena rumit dan mahalnya transportasi. Dia membagi batubara di Sumbar berasal dari 3 étage (tahapan) kala Eosen (Eocene). Pada étage pertama merupakan asal deposit batubara misalnya di Moeara dan perbukitan Batoe-Badjandjang, tapi tak layak tambang. Kawasan batubara Ombilin di Parambahan, Sigaloet dan Sungai Durian dengan potensi 200 juta ton merupakan batubara dari étage kedua Eosen. Sementara itu, étage ketiga Eosen adalah batubara di Tanah Tabang, Terataq Malientang, Padang Sibusuk hingga Batu Menjulur, tapi terlalu tipis untuk jadi perhatian.Persoalan transportasi yang menjadi akar mengapa saat Verbeek menulis kawasan batubara Ombilin belum kunjung ditambang “terpaksa” menjadi perhatian JL Cluijsenaer setelah Belanda mengeluarkan Keputusan Raja tanggal 10 Januari 1873 Nomor 18. Dia ditugaskan mencari rancangan jalur kereta api yang paling cocok untuk mengangkut batubara Ombilin sekaligus membangun koneksi rel di Sumatera Barat. Berbekal staf tujuh insinyur dan 600 lebih tenaga lain serta biaya 700 ribu gulden, dia melakukan survey mendalam selama 3 tahun sampai ke tengah rimba menguji jalur dari Ombilin ke Padang via Sitinjau Laut (Soebang-pas).Hasil survey dituangkannya dalam laporan Cluijsenaer tahun 1875 setebal 700-an halaman. Kesimpulannya, butuh total 25 juta gulden tidak hanya untuk pembangunan rel kereta api, tapi juga konstruksi tambang dan pembangunan pelabuhan yang representatif di Teluk Bayur. Laporan kedua-nya muncul pada 1878 dengan rancangan tambahan jaringan rel kereta api di Sumbar dengan biaya 9 juta gulden. Namun, dalam laporan ketiga tahun yang sama muncul laporan ketiganya dengan usulan berbeda: mengangkut batubara dari Ombilin ke Padang via Lembah Anai, berbiaya sedikit lebih murah: 24,4 juta gulden! Usulannya ini terinspirasi dari penggunaan rel bergerigi (toothed rack rail/ Riggenbach rack system) di pegunungan Rigi, Swiss, yang dibangun 1870 dan teknologinya dipatenkan oleh Niklaus Riggenbach (1817-1899). Namun, karena Belanda sedang butuh banyak uang berperang dengan Aceh serta sibuk membangun kereta api di Jawa, usulan ini untuk sementara diendapkan. Malahan, Belanda masih mencari-cari jalan lebih murah untuk mengangkut batubara lewat sungai ke pantai Timur.Ketika Belanda agak lapang, mulai lagi perdebatan membangun jalur rel kereta api mana yang cocok dari Sawahlunto ke Padang, apakah dari Sitinjau atau Lembah Anai. Kedua usulan ini memiliki pendukung masing-masing di parlemen dan pemerintahan Belanda serta melibatkan sejumlah investor swasta yang tertarik. Ada yang kemudian mengusulkan tambahan teknologi lain untuk mengatasi curamnya meda: kabelspoor (kereta kabel), yang merupakan teknologi termutakhir saat itu. Setelah berdebat lama, akhirnya disetujui batubara ke Padang diangkut via Lembah Anai dengan penggunaan rel bergerigi, persis seperti usulan Cluijsenaer. Bedanya, jalur ini justru tak pernah disurvey. Yang mengerjakan rel rekannya yang lain lagi: JW Ijzerman (1851-1932), tuntas dalam 7 tahun (1887-1894). Dalam ketika itu, penambangan terbuka Ombilin pun dimulai 1892.
Kita melihat bahwa banyak yang terlibat serius dalam menggali potensi mineral di Sumatera Barat, tentu dengan kepentingan utama eksploitasi. Namun, dari tiga insinyur tersebut saja dan khususnya dari karya-karyanya yang bisa diakses bebas (dalam bahasa Belanda) sungguh banyak yang bisa dipelajari. Mungkin, tidak sekedar dokumen sejarah, kiranya banyak yang relevan untuk masa kini jika mau menelaah serius karya-karya mereka.*Penulis Merupakan ASN Kanwil Kemenag Sumbar/ Alumnus MA Islamic Studies Universiteit Leiden.