Antisipasi Macet Lebaran

Foto Harian Singgalang
×

Antisipasi Macet Lebaran

Bagikan opini

Ramadhan 1444 H memang masih berada di minggu pertama. Tetapi ada persoalan klasik yang semestinya diantisipasi jauh-jauh hari oleh berbagai pihak terutama pemerintah daerah Sumatera Barat baik provinsi maupun kabupaten kota, yakni kemacetan pada saat lebaran.Pada hari-hari biasa saja, di jam-jam tertentu seperti pagi hari menjelang masuk sekolah dan kantor dan jam pulang sekolah dan kantor, terjadi kemacetan di berbagai titik yang ada di kota-kota besar Sumatera Barat seperti Padang dan Bukittinggi. Artinya, volume kendaraan yang lalu-lalang di jalanan Sumatera Barat sudah terasa padat diisi oleh kendaraan-kendaraan asli ber-plat BA. Apalagi jika kemudian volume itu bertambah 2 bahkan sampai 3 kali lipat dengan kehadiran mobil-mobil perantau yang merayakan Idul Fitri di kampung halaman.

Pemandangan horror Padang – Bukittinggi yang ditempuh 8-12 jam adalah pengalaman yang beberapa tahun belakangan ini dirasakan oleh perantau dan “urang kampung” di Sumatera Barat. Jalan alternatif Padang – Bukittingi via Malalak dan via Solok belum bisa menjadi solusi efektif untuk mengurai kemacetan Padang – Bukittinggi via Padang Panjang, Sicincin dan Lubuak Aluang.Beberapa tokoh menyarankan agar “urang ranah” menikmati saja fenomena sekali setahun itu dan mengimbau “urang rantau” untuk bersabar dan tidak “mengerutu” dengan situasi macet dadakan akibat berjubelnya kendaraan selama seminggu awal bulan Syawwal. Ketika kendaraan sudah melimpah ruah dalam waktu yang bersamaan baik untuk bersilaturrahmi ke tempat keluarga di nagari atau daerah lain atau sekedar memadati objek-objek wisata yang ada di berbagai kota kabupaten, maka kemacetan adalah konsekuensi logis dari situasi ini.

Namun, persoalan itu sebenarnya bukan tanpa solusi. Ada beberapa langkah-langkah yang bisa diambil oleh pemerintah dan juga individu (terutama perantau yang hendak pulang kampung saat lebaran). Pertama, himbauan dari ikatan-ikatan perantau di berbagai daerah di Nusantara kepada anggota-anggotanya agar tidak pulang kampung menggunakan kendaraan pribadi. Sebagaimana yang sudah penulis singgung di awal tulisan ini bahwa jalanan di Sumatera Barat sendiri sudah tidak mampu untuk menampung kendaraan-kendaraan ber-plat BA jika langsung tumpah-ruah pada satu waktu. Entahlah, kalau semakin ditambah bebannya dengan kedatangan mobil-mobil dari luar daerah (biasanya didominasi oleh mobil ber-plat B dan BM).Keinginan para perantau untuk membawa mobil saat mudik lebaran sebenarnya dipicu oleh masalah kultural akut yang menimpa orang Minang. Pulang kampung dimaknai bukan sekedar melepas rindu dengan sanak keluarga, tapi juga dimanfaatkan sebagai momen untuk “pamer” kesuksesan di perantauan. Salah satu bentuk nyata dan kentara untuk menampakkan keberhasilan adalah dengan membawa mobil. Bahkan dalam sebuah lirik lagu yang viral di media sosial akhir-akhir ini tentang kerinduan perantau untuk pulang kampung terselip sebuah bait “Di hari rayo nan ka tibo, denai pulang jo minantu Bundo. Jo oto baru kileknyo rancak sirah warnanyo.”

Mindset kultural ini tentu sangat sulit dirobah secara cepat karena bangunan kebudayaan Minang itu sangat kuat sisi pragmatis dan materialistisnya. Berbeda dengan orang Jawa yang menganut filosofi “Mangan ora mangan asal ngumpul” (Makan tidak makan asalkan bisa berkumpul). Bagi orang perantau Minang, lebih baik mengdekam di daerah tempat berjuang/mencari rizki dengan menahan rindu tak terperi daripada pulang kampung karena setelah diukur-ukur belum menunjukkan tanda-tanda kesuksesan/keberhasilan finansial.Namun, berhala-berhala kultural ini sebenarnya bisa diuraikan dan ditembus dengan sisi pragmatis lainnya yang lebih menarik yakni dengan cara menunjukkan kesuksesan itu lewat pemberian dampak moneter kepada “urang kampuang” sendiri. Nah, bagaimana caranya?

Pemaksimalan mobil-mobil ber-plat BA selama momen hari raya Idul Fitri bisa menjadi solusi jitu untuk menguraikan kemacetan di Sumatera Barat selama 7 hari awal bulan Syawwal. Setiap perantau pasti punya sanak keluarga di kampung. Tidaklah akan mengurangi gengsinya jika untuk jalan-jalan dan silaturrahmi menggunakan mobil milik keluarga yang ada di kampung itu saja. Dengan sedikit penganti uang bensin dan sekaligus memanfaatkan orang kampung sebagai sopir bisa juga menambah pendapatan mereka.Saat setahun yang lalu pulang lebaran, saya hanya menemukan 2 kota saja di Sumatera Barat yang sudah mengaktifkan layanan “Ojek Online” yakni Padang dan sekitarnya serta Bukittinggi dan sekitarnya. Di kota Solok tempat orang tua saya berdomisili belum ada layanan ojek online seperti Gojek, Grab, Maxim ataupun Indrive. Adalah sesuatu yang menarik jika ada semacam lobby-lobby khusus yang dilakukan oleh perantau Minang yang telah menjadi pengusaha besar atau pejabat teras di Jakarta untuk bisa melakukan pendekatan kepada operator ojek online tersebut untuk memperluas layanan mereka ke berbagai kota dan kabupaten yang ada di Sumatera Barat. Sehingga ini bisa menjadi salah satu solusi penguraian kemacetan di Sumatera Barat selama lebaran dan untuk jangka panjangnya bisa menjadi mata pencaharian baru bagi urang ranah sendiri.

Kedua, pemerintah perlu duduk bersama dengan pengusaha moda transportasi umum untuk memberikan pelayanan prima lintas nagari dan lintas daerah di Sumatera Barat selama perayaan Idul Fitri berlangsung. Para perantau terutama yang berasal dari Jabodetabek sangat terbiasa untuk menggunakan moda transportasi umum baik Trans Jakarta, KRL, LRT ataupun MRT. Di Sumatera Barat sendiri sebenarnya eksis moda transportasi publik seperti Bus dan Kereta Api. Pemerintah perlu memaksimalkan potensi itu dengan membuka rute-rute yang menghubungkan spot-spot yang dikejar oleh masyarakat pada saat lebaran seperti tempat-tempat wisata. Dengan kehadiran transportasi publik yang nyaman itu, maka perantau atau orang ranah yang hendak “pai barayo” tidak lagi memakai kendaraan pribadi tapi bermigrasi menggunakan kendaraan umum.Saya masih ingat di tahun-tahun 1995-2021 dimana saya masih remaja (masa-masa SD, SMP, SMA). Adalah tradisi para anak muda di kampung saya (Kepala Hilalang Pariaman) untuk menikmati lebaran ke Bukittinggi di tanggal 2 Syawwal. Dengan rombongan, kami menumpang bus bertrayek Padang/Pariaman – Bukittinggi/Payakumbuh. Kami akan mulai menunggu bis di jam 10 pagi dan balik lagi ke Kepala Hilalang sore hari atau selepas Magrib. NPM, ANS, Bahagia, Sinar Riau, Yanti, dan lain-lain adalah penguasa jalanan Sumbar waktu itu. Jika kami ingin menikmati suasana di Air Terjun Lembah Anai atau Malibo Anai, kami cukup turun dari bis. Tanpa harus membuat bis berhenti dalam jangka waktu lama dan membuat penumpukan kendaraan di parkiran yang sangat terbatas.  Setelah puas menikmati panorama Lembah Anai dan Malibo Anai, maka kami akan menyetop bis baru yang menuju kota Padang. Hampir tidak ada kemacetan parah yang dialami. Karena sebagian besar orang melakukan mobilisasi dengan transportasi publik bukan dengan kendaraan pribadi.

Ketiga, pemerintah daerah juga bisa berkontribusi menanggulangi masalah macet parah selama lebaran di Sumatera Barat dengan menerjunkan bis-bis dinas mereka untuk menghubungkan titik-titik objek wisata yang selalu menjadi primadona bagi masyarakat saat Idul Fitri. Dengan memberikan layanan bis gratis dengan titik kumpul di alun-alun kota untuk kemudian berputar secara reguler di beberapa lokasi tempat wisata favorit paling tidak memberikan alternatif baru buat masyarakat dan menahan diri untuk memakai kendaraan pribadi. Memang pemerintah harus menyediakan alokasi anggaran khusus untuk bensin dan honor driver. Tapi sebenarnya itu bisa ter-cover jika dijadikan sebagai satu kesatuan fasilitas dengan tiket masuk ke lokasi wisata yang menjadi trayek dari bis gratis milik pemda tersebut.Mengharapkan jalanan di Sumatera Barat diperlebar dan diintegrasikan lewat tol rasanya membutuhkan waktu yang lama serta anggaran yang sangat besar. Lagian kehadiran tol dalam kota di Sumatera Barat belum terlalu begitu mendesak karena padatnya volume kendaraan masih bersifat situasional di momen tertentu saja seperti lebaran dan liburan sekolah. Jadi sangatlah arif jika kemacetan parah di Sumatera Barat bisa diantisipasi dengan proses kesadaran penuh dari perantau untuk tidak membawa kendaraan pribadi ke kampung halaman, pemaksimalan penggunaan transportasi publik yang nyaman dan inisiasi pemda untuk membuka layanan bis-bis gratis untuk akses ke objek-objek wisata.(*)

Penulis adalah: Putra Pariaman, Dosen Prodi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan Alumni S2 Publishing Media Oxford Brookes University UK)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini