Senja di Ufuk Sya'ban

Foto Harian Singgalang
×

Senja di Ufuk Sya'ban

Bagikan opini

Saban hari kita mendengar seorang imam shalat membacakan do’a: Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana wa ballighnaa fi ramadhan (Ya Allah! Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan jua lah kami ke bulan Ramadhan) seusai melaksanakan shalat fardhu.Beberapa hari terakhir bacaan do’a ini terpenggal menjadi “Allahumma bariklanaa fi sya’ban wa ballighnaa fi ramadhan” pada saat seorang imam shalat sudah berada di bulan Sya’ban.

Beberapa hari ke depan, mungkin saja do’a itu bertambah ataupun berubah menjadi “Allahumma innaka ‘Afuwun Karimun tuhibb al-‘afwa fa’fu ‘anna ya Karim” (Ya Allah! Sesunggahnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia serta Mencintai kemaafan, maafkanlah kami Ya Sang Pemilik Kemuliaan) seiring pergeseran matahari dan bulan.Matahari tenggelam, bulanpun muncul sekalipun dalam hitungan detik sebagai tanda bulan Sya’ban telah berlalu dan Ramadhan pun datang.

Tetapi berlalunya bulan Sya’ban tidak berbanding lurus dengan berlalunya perbedaan pendapat untuk mengawali puasa Ramadhan.Sebab, perbedaan pendapat itu senantiasa menjadi diskursus kajian Fiqih yang secara substansi Fiqh adalah khilafiyah. Terdapat pendapat yang berpegang dengan metode ru’yat al-hilal dan ada pula yang menggunakan metode hisab sebagai instrumen penetapan awal Ramadhan.

Begitulah suasana dan kondisi umat Islam pada saat senja di ufuk Sya’ban.Terlepas dari perbincangan tentang perbedaan, bagaimana, dan kapan berawalnya, sesuatu yang pasti adalah puasa Ramadhan bagian dari rukun Islam. Setiap muslim wajib menunaikannya.

Bahkan, do’a-do’a di atas mengisyaratkan pesan-pesan penting senja di ufuk Sya’ban dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Dalam konteks ini, puasa Ramadhan yang ditunaikan menjadi instrumen penting untuk memperoleh nilai taqwa yang dijanjikan.Atas dasar itu, penting menelisik spirit yang terkandung di dalam doa tersebut seiring dengan datangnya bulan Ramadhan agar menggapai derajat ketaqwaan.

Menelisik substansi yang dikandung oleh do’a di atas, –paling tidak– terdapat tiga kata kunci, yaitu: keberkahan, kemaafan, dan kecintaan. Masing-masing kata kunci itu beririsan dengan makna hadits al-qudsiy: “Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan kecuali Aku. Siapa saja yang tidak mensyukuri nikmat-Ku; Siapa saja yang tidak sabar terhadap ujian-Ku; dan Siapa saja yang tidak ridha terhadap ketetapan-Ku, maka carilah Tuhan selain-Ku”.Dalam konteks ini, rasa syukur yang terhunjam di dalam jiwa senantiasa merefleksikan nilai-nilai keberkahan hidup; rasa sabar yang melingkupi hati senantiasa merefleksikan karakter pemaaf di dalam keseharian; dan serta rasa ridha yang menjadi inti sari jiwa serta senantiasa mengantarkan nilai-nilai cinta terhadap segala sesuatu yang Allah ciptakan.

Oleh sebab itu, ketiga nilai penting ini mesti bersinergi di dalam diri umat Islam, agar puasa Ramadhan yang ditunaikan dapat membekasi nilai ketaqwaan di dalam setiap langkah kehidupannya.Implementasi nilai di atas –pada dasarnya– pernah diajarkan para tetua alam Minangkabau. Mereka meninggalkan pesan melalui tradisi balimau bagi anak cucunya, –yang akhir-akhir ini– sedang mengalami kerusakan makna. Terlepas dari distori yang terjadi, makna “balimau” yang diwariskan para tetua Minangkabau –sesungguhnya– sangat erat kaitannya dengan nilai do’a dan hadits al-qudsiy di atas. Dalam hal ini warisan tradisi balimau memiliki arti manjalang urang tuo, mintuo, adi jo kako, ipa jo bisan, dan handai tolan.

Di samping membawa sedikit buah tangan –sebagai wujud syukur, sekalipun hanya dengan senyuman–, mereka datang dengan sejuta harapan untuk direlakan dan dimaafkan atas segala bentuk kealpaan dan kekhilafan. Bahkan, meminta maaf atas tutur kata yang mengumpat dan memuji di belakang orang. Atas dasar itu, tradisi balimau menjadi suatu tradisi yang mesti diejawantahkan di dalam kehidupan menjelang bulan Ramadhan dalam rangka mensucikan hati dan membersihkan jiwa.Limbak dari pada itu, tradisi balimau sebagai warisan tetua Minangkabau menjadi wujud nayata dari nilai-nilai yang pernah diajarkan Rasulullah. Suatu kali Rasulullah menaiki mimbarnya. Ketika menaiki tangga pertama, beliau berucap “aamiin”.

Begitu seterusnya sampai menaiki tangga ketiga. Para sahabatpun bertanya: apakah gerangan yang engkau “aamiin”kan ya Rasulullah? Lantas Nabi menjawab: Malaikat Jibril memintaku untuk mengaminkan do’anya. Lantas aku mengabulkan permintaannya. Ucapan “aamiin” yang pertama, pada saat itu malaikat Jibril berdo’a: Ya Allah! Jangan Engkau terima puasa orang yang durhaka kepada kedua atau salah satu orang tuanya; ucapan “aamiin” yang kedua, pada saat itu malaikat Jibril berdo’a: Ya Allah! Jangan Engkau terima puasa orang yang durhaka kepada suaminya; dan ucapan “aamiin” yang ketiga, pada saat malaikat Jibril berdo’a: Ya Allah! Jangan Engkau terima puasa orang yang tidak mau memaafkan kesalahan saudaranya. Petikan makna penting dari riwayat di atas menggambarkan bahwa tradisi balimau –yang diwariskan tetua Minangkabau– sangat relevan dengan ajaran Rasulullah.Beranjak dari uraian di atas, senja di ufuk Sya’ban mengisyaratkan pentingnya kesucian hati dan kebersihan jiwa untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Kebersihan hati diperoleh dari kemaafan yang senantiasa beririsan dengan peningkatan rasa kesabaran; dan kesucian jiwa diperoleh dari rasa syukur dan ridha terhadap segala sesuatu yang Allah tetapkan, baik yang dalam pandangan manusia, sesuatu itu tidak baik maupun dalam pandangan manusia itu adalah baik. Ssesuatu yang pasti Allah menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini penuh dengan kebaikan. Atas dasar itu, menjelang senja di ufuk Sya’ban berakhir tidak ada pilihan lain kecuali melakukan tradisi balimau yang berpenah diwariskan tetua Minangkabau dalam rangka menjadikan puasa Ramadhan sebagai jembatan menuju nilai ketaqwaan.

Wallahu’alam bi al-Shawab!!!

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini