Jurang Pemikiran Antar Generasi di Minangkabau: Pertanda Proses Pewarisan yang Mandul

Foto Harian Singgalang
×

Jurang Pemikiran Antar Generasi di Minangkabau: Pertanda Proses Pewarisan yang Mandul

Bagikan opini

 Oleh: Dirwan Ahmad Darwis

(Pencinta sejarah, budaya dan bahasa Minangkabau) 

Artikel (karangan dalam surat kabar) yang saya tulis dan diterbitkan oleh koran Singgalang online pada 22 Februari lalu, berjudul “Minangkabau Nan Gadang Ota dan kanai Ota”, nampaknya berhasil memicu perdebatan hangat di kalangan orang-orang Minangkabau, terutama di berbagai media sosial, yang juga ditanggapi oleh berbagai kalangan. Banyak yang suka, tapi ada juga yang kurang berkenan (khususnya terkait judul tulisan). Saya dapat memahami keadaan tersebut, namun, bagi saya semua itu adalah hal biasa dan lumrah saja. Karena keduanya merupakan cerminan rasa peduli sebahagian orang Minangkabau terhadap isu-isu terkait keminangkabauan.Membangkitkan kembali gairah dialektika Minangkabau

Namun yang ingin saya sampaikan dan ulas dalam artikel kali ini adalah tanggapan tertulis berupa artikel-artikel yang ditulis oleh dua orang cendikiawan muda dari Universitas Muhammadiyah (UM) Sumbar. Pertama ditulis oleh Dr. Riki Saputra, yang merupakan Rektor UM, kemudian menyusul tulisan Dr. Isral Naska, Direktur Pusat Studi Islam dan Minangkabau/ PSIM, UM.Pertama, saya mengucapkan terima kasih kepada Riki dan Isral, yang telah berkenan menuliskan tanggapan mereka. Karena di satu sisi, kedua artikel itu merupakan suatu penghargaan kapada saya. Kedua, tanggapan Riki dan Isral, secara tidak langsung, juga telah mengangkat kembali tradisi (kebiasaan) kalangan cendikiawan Minangkabau masa lalu, yakni tulisan dibalas dengan tulisan, yang dulu dikenal sebagai “dialektika” Minangkabau. Dialektika berasal dari kata dialéctic, menurut kamus Oxford artinya: seni atau amalan dan bebiasaan menyelidiki/membahas dan menilai kebenaran suatu teori atau pendapat, melalui bahasan dan perdebatan.

Haji Agus Salim, yakni seorang pahlawan nasional dari Minangkabau, dalam buku biografinya mengatakan bahwa ia sangat percaya dengan debat. Baginya setiap muncul ide (pemikiran-pemikiran) baru, apa lagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka itu perlu didebatkan terlebih dahulu untuk menguji kebenarannya. Sayangnya hari ini debat dianggap sesuatu yang kurang baik. Ketika seorang kurang bersetuju dan mendebat seseorang yang lain atas suatu pemikiran, maka pendebat itu kini sering dianggap sebagai lawan. Bahkan setelah terjadi perdebatan dalam sebuah forum, ada pihak terlibat yang cenderung tidak mau berteguran karena merasa disakiti karena mendebat. Ini adalah sesuatu kemunduraan berpikir Minangkabau yang sangat memiriskan, karena telah terjadi pergeseran makna terhadap suatu hal yang sangat mendasar sifatnya. Pada hal pendebat yang baik adalah kawan berpikir.Disebabkan sudah terjadi pergeseran makna tentang debat dan dialektika tersebut, barangkali itulah salah satu penyebab mengapa kalangan cendikiawan dewasa ini tidak tertarik lagi untuk berdialektika dan berdebat. Karena mereka memilih cari aman, tapi lambat laun hal itu dapat memandulkan pemikiran kritis (tidak mudah percaya).

Kekeliruan Riki Saputra dalam membaca pemikiran sayaKembali kepada artikel Riki dan Isral. Tulisan Isral kelihatannya sama sekali tidak mempersoalkan isi artikel saya, bahkan cenderung setuju. Hal itu juga ia sampaikan secara langsung pada perbincangan di dunia maya pada Jumat malam 17 Maret 2023, berjudul “Maota Lamak: Benarkan Orang Minangkabau Gadang Ota dan Kini Kanai Ota?” melalui pertemuan zoom, yang kemudian juga disiarkan di kanal youtube MSTV yang digawangi oleh pewarta Donny Magek Piliang.

Dengan demikian, saya tidak akan mengulas panjang lebar tentang artikel Isral, cuma hanya ada satu catatan ringan, bahwa kritik Isral dengan judul tulisan “Kepemimpinan Minangkabau Yang Sedang Sakit”, menurut saya Isral agak tendensius (mengarah ke pihak-pihak tertentu), dan masih terperangkap dalam penilaian suka menyalahkan pihak-pihak lain. Namun, hal ini bukan berarti yang disampaikan Isral itu tidak benar, justru sangat benar. Tapi untuk ke depannya, kecenderungan seperti ini bagi kalangan cendikiawan, menurut saya perlu diubah dengan pendekatan baru yang merangkul. Keadaan ini saya kaitkan dengan hilangnya dialektika Minangkabau, serta bergesernya makna “debat” menjadi tanda perlawanan. Membuat kecenderungan menyalahkan  dapat mengakibatkan semakin tertutupnya pintu “islah” bagi kepentingan bersama.Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa tanggapan saya terhadap artikel Riki Sapurta.

  • Pertama, menurut Riki, saya keliru menyatakan bahwa adat budaya Minangkabau sudah bergeser disebabkan faktor kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi. Sehingga Riki mengkhawatirkan keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya polarisasi (perpecahan) dan konflik (pertentangan) sosial antara kelompok yang melestarikan adat dan budaya dengan kelompok yang mengadopsi (memanfaatkan) teknologi baru. Dalam hal ini saya tidak tahu, mengapa Riki justru menerjemahkannya dalam kerangka yang sempit. Saya katakan sempit, karena teknologi baru itu adalah salah satu bahagian dari proses modernisasi dan globalisasi. Sedangkan saya menyatakan bahwa pengaruh modernisasi dan globalisasi lah sebagai penyebab bergesernya adat budaya Minangkabau itu. Kemudian saya juga menuliskan manfaat dan mudharatnya modernisasi dan globalisasi itu (lihat: sub-judul artikel saya itu). Artinya, saya tidak melulu melihat masalah itu dari sisi mudharatnya saja.
 

  • Kedua, saya sangat setuju dengan Riki bahwa adat dan budaya bukan sesuatu yang statis (kaku), melainkan sesuatu yang dinamis (lentur) dan terus berkembang. Ini menunjukkan bahwa adat dan budaya selalu berubah dan berkembang seiring dengan perubahan lingkungan dan kebutuhan manusia. Kemudian Riki juga menyatakan bahwa adat istiadat dan budaya adalah hal hidup dan berkembang seiring bergulirnya waktu. Namun ketika Riki mengatakan bahwa adat budaya dapat berubah karena mengalami transformasi (perubahan bentuk) dan adaptasi (menyesuaikan diri) sesuai dengan tuntutan zaman. Bagi saya, pernyataan ini perlu disikapi secara sangat hati-hati, karena bagi pihak-pihak/generasi yang tidak memahami adat istiadat dan budaya, mereka akan dengan mudah menerjemahkan pernyataan Riki tersebut bahwa apapun bentuk adat budaya Minangkabau dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
  • Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini