Kepemimpinan Minangkabau yang Sedang Sakit

Foto Harian Singgalang
Ă—

Kepemimpinan Minangkabau yang Sedang Sakit

Bagikan opini

Maka pertanyaan paling dasar adalah: dimanakah kepemimpinan Minangkabau itu? Apakah dia sudah meninggal-punah? Atau masih ada tapi sedang sakit-sakitan?Jika kita amati, Minangkabau masih memiliki ninik mamak, banyak pula alim ulama, apalagi cadiak pandai. Secara kelembagaan, ninik mamak itu bahkan sudah memiliki lembaga yang memungkinkan mereka yang berasal dari berbagai penjuru daerah untuk bermusyarah, seperti LKAAM dan KAN. Alim ulama jangan disebut, sudah banyak PTKI swasta dan negeri yang kurikulumnya ditujukan untuk mempelajari Islam. Di samping itu madrasah, pesantren dan sekolah keIslaman menjamur dimana-mana. Ditambah lagi dengan rumah tahfiz dan pengajian-pengajian. Cadiak pandai pun demikian, sama kondisinya dengan alim ulama. Banyak perguruan tinggi hebat di Sumatera Barat dengan ribuan dosen dan ratusan professor yang semua mereka adalah cerdik cendikia. Tidak hanya itu, banyak juga lembaga-lembaga sosial, bisnis, dan filantropi berjamur dimana cadiak pandai berkumpul. Untuk Bundo Kanduang juga demikian, sudah ada organisasinya, bahkan bercabang hingga luar negeri. Akan fakta seperti yang ditulis oleh Dirwan Ahmad Darwis tetap saja terjadi.

Beranjak dari sini, dapat disimpulkan bahwa Kepempinan Minangkabau itu sedang sakit, sehingga tidak dapat berfungsi dengan semestinya. Pertanyaan lanjutan yang yang mesti didiskusikan adalah apa yang menyebabkan sakitnya.Diskusi akan panjang dan berjilid. Namun izinkan saya menyampaikan satu perspektif di sini. Bahwa sakitnya Kepemimpinan Minangakbau adalah akibat dari pemaksaan sistemis produk-produk modernisasi terhadap masyarakat Minangkabau. Ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Belanda. Berdasarkan pembacaan pribadi penulis terhadap beberapa buku sejarah lokal, hal ini sudah berlangsung sejak lama. Belanda dulu pernah memaksakan penghulu bersurat dan Tuanku Lareh, menyebabkan kacau balaunya pranatas sosial. Lalu pernah juga dipaksakan sistem pemerintahan desa, menyebabkan tungku tingo sajarangan terpinggirkan, tidak lagi punya kekuatan politis, melainkan hanya kekuatan kultural belaka.

Masuknya era reformasi, kita memang memiliki lagi Nagari. Namun perlu dipikirkan ulang, apakah wali nagari sudah terpilih berdasarkan prinsip-prinsip dasar suksesi kepemimpinan di Minangkabau? Dimanakah kedudukan legal-formal ninik mamak dan cadiak pandai di nagari? Bagaimana pula dengan Bundo Kanduang? Mungkin akan ada penjelasan dan jawaban, namun jawaban dan penjelasan itu sepertinya akan hambar saja, mengingat kejadian-kejadian buruk terus saja terjadi di Minangkabau.Gempuran modernisasi yang massive menempatkan orang-orang Minangkabau dalam krisis identitas. Bagaimana mungkin bisa bundo kanduang dan calon bundo kanduang tampil tidak patut di media sosial, padahal ia ditakdirkan akan menanggung baban nan barek singgulung batu sehubungan dengan peran sosialnya? Banyak pula orang Minangkabau yang tidak mau lagi bicara bahasa minang, menyebabkan mandeknya transfer kearifan loka Minangkabau.

Pada akhirnya saya hendak kembali pada apa yang menjadi ide dasar dari tulisan ini. Bahwa hal-hal buruk di Minangkabau belakangan ini terjadi karena sakitnya Kepemimpinan Minangkabau. Kepemimpinan itu sedang lumpuh. Selama kepemimpinan Minangkabau tidak berfungsi, jika pun pada akhirnya orang Minangkabau jadi cadiak pandai dan ulama, mungkin tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan arif bijaksana ala filsafat alam Minangkabau dalam dirinya. Selama itu pula muncul ninik mamak yang tidak mengayomi, dan bundo kanduang yang tidak siap. Dan, selama ini pula berita-berita miris tentang orang Minangkabau bermunculan.Maka pertanyaan paling mendasar dari sini adalah: apa yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan kekuatan Kepemimpinan Minangkabau itu? Bagaimana peran masyarakat? Bagaimana peran kampus dan perguruan tinggi? Bagaimana peran ulama? Bagaimana peran pemerintah daerah? Bagaimana memaksimalkan UU no 17 tahun 2022 itu? Bagaimana implementasi nyata ABS-SBK itu. Ada baiknya kita banyak bertanya, yang lebih penting adalah usaha-usaha nyata. Wallahu’alam.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini