Yogya ke Jakarta Sejauh Malam

Foto Harian Singgalang
Ă—

Yogya ke Jakarta Sejauh Malam

Bagikan opini

"Terima kasih Bapak, murah rezeki dan sehat terus," porter di Stasiun Tugu Yogyakarta, setelah saya serahkan tips. Kereta malam Gajayana Luxury sudah masuk stasiun dan kami berdiri di peron menunggu sekitar satu menit.Dan, tepat pukul 20.14 kereta bergerak menuju kota lain nan jauh, sejauh malam: Jakarta. Sekarang kali kedua saya naik kereta kaum rebahan, pertama ketika riset tentang Rasuna Said, akhir tahun lalu ke Semarang.

Stasiun ini beroperasi 20 Juni 1887, tentunya lebih awal dibanding stasiun Simpang Haru Padang 1891. Di Yogya peronnya 7 jalur 9 di Simpang Haru peron 3 jalur 7.Inilah stasiun "Sepasang Mata Bola," karya Ismail Marzuki. Senja menjelang malam dalam lagu itu sedemikian aduhai. Saya tiba di sini, dalam suasana seperti itu.

Hampir malam di YogyakartaKetika keretaku tiba

Remang-remang cuacaTerkejut aku tiba-tiba

Itu lagu. Ini kenyataan dan saya bukan tiba tapi hendak meninggalkan Yogyakarta, kota yang ramai. Orang Jawa saja berputar-putar sesama mereka dari kota yang satu ke kota yang lain, cukup sudah. Wisata maju pesat. Saya saksikan sendiri puluhan bus wisata silih berganti masuk terminal khusus. Isinya warga pulau Jawa. Padahal tak terbilang banyaknya wisatawan dari Sumatera dan dari Sunda Kecil."Adik darimana?"

"Palembang" Seorang anak perempuan, tampil ke pentas. Mungkin kelas 6 SD di kafe Manoewa, Yogyakarta pada Senin (13/3) malam yang berbintang. Gadis kecil Wong Kito Galo itu, membawakan dua lagu yang saya tidak tahu lagu apa itu."Lah bi gaek, baliak wak lai," kata saya kepada kawan.

Di Yogyakarta saya mampir ke kafe milik kawan, Kopi Klotok Menoreh di tapi sawah kaki banjaran Bukit Menoreh. Kemudian ke Warung HL Kopilanbrongkos, di Wonosari. Kopi di kedua kafe ini, enak. Dan: sangat murah. Dua kawan ini, memantau  pergerakan bisnis dari Jakarta yang sejauh malam itu, jika Anda naik kereta kala senja menuju kota itu.Tak sempat mampir pada kawan saya di Pikiran Rakyat, koran tua itu, juga tak bertemu bekas direktur BPJS Aniek yang sedang di Bandung. Tapi, saya bertemu banyak warga Yogya yang ramah.

Misalnya yang ramah itu, nyonya Muhammad Agus Syamsuddin, istri komisaris utama Semen Padang."Muhammadiyah dilahirkan di Yogya tapi dibesarkan di Minangkabau," kata saya. Tentu saja tokoh Muhammadiyah ini, sudah tahu akan hal itu. Yang dia belum tahu, saya makan begitu nikmat saat jamuannya saya santap.

Tapi ini juga enak: Mie jowo Mbah Gito. Apalagi mie godognya pakai cabai rawit. Suasana rumah pedesaan Jawa. Makan mie rebus saja ramainya minta ampun. Depan komplek makam lagi. Siang malam tak henti-hentinya. Mbah Gito tiba-tiba muncul di meja kami."Saya Gito bagaimana mienya," kata pria berusia sekitar 66 tahun itu. Ia ramah dan terlihat memberi senyum pada para tetamu. Pria itu memakai baju khas jawa.

Dan saya menginap di hotel kawasan Malioboro. Jalan itu terlihat cantik. Ramai. Jika di Padang ada secantik dan seramai ini, maka walikota akan terpilih untuk kedua kali. Di Malioboro tak ada trotoar berlobang, beda dengan Padang, wisatawan terperosok dan mengalami cidera. Setelah itu, baru diperbaiki.Kereta terus melaju, Cindy pramugari menawari saya hidangan hangat. Perai. Tentu saya sikat.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini