International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) dan “Politik Sastra” Denny J.A.

Foto Harian Singgalang
×

International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) dan “Politik Sastra” Denny J.A.

Bagikan opini

Hanya jelang beberapa hari pasca penutupan International Minangkabau Literacy Festival (IMLF 22-27 Februari 2023), panitia acara tersebut bereuforia dengan banyaknya pujian dan sanjungan dari para delegasi (peserta) IMLF yang dikirimkan lewat pesan Whatsapp karena pelayanan “Bintang Lima” (The First Class) yang mereka dapatkan dari penyambutan di Bandar International Minangkabau Padang Pariaman sampai ke acara penutupan dan diantar kembali ke BIM untuk pulang ke daerah/negara masing-masing.Panitia pun mengklaim bahwa telah terjadi impak ekonomi yang luar biasa dari acara ini dengan transaksi UMKM yang mencapai 150 juta rupiah selama acara berlangsung di lokasi utama perhelatan acara, Kawasan Pendidikan PPSDM Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia di Baso Agam.

Belum lagi jika ditambahkan dari spending yang dilakukan oleh para delegasi dari 12 negara (termasuk Indonesia) yang jumlahnya lebih kurang 160 orang itu di luar kawasan acara seperti pembelian oleh-oleh dan cinderamata.Adapun biaya perhelatan iven literasi berskala global di Ranah Minangkabau ini diperkirakan berada di kisaran 700 juta rupiah dengan donator utama adalah Denny J.A. yang merupakan Ketua Umum DPP Satu Pena dengan nilai sumbangan 100 juta rupiah.

Sumber lainnya tentu dari kontribusi peserta/delegasi yang dipatok 1-2 juta rupiah untuk peserta domestik dan 200-250 US dollar atau setara 3-5 juta untuk peserta luar negeri.Jika proporsi peserta dalam dan luar negeri dipukul rata masing-masing 80 orang maka total kontribusi peserta minimal berada di angka 320 juta rupiah.

Sisa lainnya adalah kebaikan hati para Kepala Daerah baik Gubernur, Walikota dan Bupati serta Kepala Perpustakaan Bung Hatta Bukittinggi yang bersedia untuk menjamu para delegasi ketika datang ke tempat mereka.Tentu saja penekanan biaya yang sangat signifikan adalah pemakaian fasilitas PPSDM Kemendagri Baso tanpa berbayar. Ditambah dengan kontribusi sukarela dari berbagai pihak seperti Kepolisian dari level Polda sampai ke Polsek, Camat dan Walinagari sekitaran PPSDM Kemendagri Baso.

Dari segi acara tentu saja IMLF telah mampu menyajikan berbagai perpaduan helatan Literasi dan Seni secara apik. Kemudian ditutup dengan Resolusi Literasi Minangkabau yang salah satunya berisi tentang filosofi Literasi Minangkabau yang dinyatakan memiliki ruh “alam takambang jadi guru, yang menjadi pondasi esensial kecakapan literasi untuk mampu memahami teks-teks nan tasurek (kecakapan semantik/pareso/ rasional/intellectual quotient), nan tasirek (kecakapan simbolik atau semiotic/raso/ emotional quotient), dan nan tasuruak atau nan tasyarak (kecakapan spiritual/spiritual quotient).” Tentu banyak poin penting lainnya yang termaktub dalam Resolusi IMLF 2023 seperti pendorongan kebijakan alokasi dana 1% dari APBN/APBD untuk kegiatan/gerakan kebudayaan dan pengembalian eksistensi Bahasa Minang dalam kehidupan sehari-hari dan akademik masyarakat. Namun definisi Literasi Minangkabau yang telah ditelurkan oleh IMLF 2023 ini menarik untuk dikaji lebih jauh dalam kaitannya dalam membaca Nan Tasirek dan Nan Tasuruak untuk “Politik Sastra” ala Denny J.A.Sumbangan Denny J.A. dalam perhelatan IMLF 2023 yang notabene diprakarsai dan dihelat oleh DPD Satu Pena Sumatera Barat adalah sesuatu hal yang biasa dalam status Denny J.A. sebagai Ketua Umum DPP Satu Pena. Di titik ini tidak ada masalah sama sekali. Tidak ada unsur-unsur politik praktis dari kontribusi tersebut meskipun Denny J.A. dikenal sebagai konsultan politik kawakan nasional. Dari sisi ini tentu banyak orang yang meskipun sudah berstatus sebagai intelektual (yang diklaim memiliki kemampuan berpikir kritis), wartawan (yang diklaim mampu menelisik dan menginvestigasi rangkaian fenomena) dan sastrawan (yang diklaim memiliki semangat adiluhung untuk menyadarkan masyarakat dari penindasan-penindasan yang melukai hati nurani) menjadi terlena seolah-olah tidak ada motif apa-apa kecuali murni sebagai bentuk kepedulian orang kaya terhadap dunia literasi dan sastra (kebudayaan secara umum). Yang di satu sisi bisa dikatakan cukup langka orang-orang kaya yang mau “berhabis-habis” uang untuk mendukung perhelatan dan gerakan literasi aka sastra di tengah-tengah masyarakat.

Motif “Politik Sastra” Denny J.A. baru bisa diungkap secara terang-benderang ketika kita membuka kembali kisah 1 dekade terakhir dimana ada keinginan Denny J.A. untuk “menasbihkan” diri dalam jajaran Sastrawan Kawakan Indonesia. Proses itu telah dimulainya sejak tahun 2012 dengan penerbitan kumpulan puisi esai berjudul “Atas Nama Cinta” yang terdiri dari 5 puisi berbabak. Saat itu banyak sastrawan Indonesia yang masih melihat dari jauh gebrakan baru Denny J.A. yang terlihat jauh dari pekerjaan kesehariannya sebagai konsultan politik dan pembuat survei elektabilitas.Komunitas Sastrawan Indonesia baru meradang ketika nama Denny J.A. masuk dalam salah satu tokoh 33 sastrawan berpengaruh di Indonesia yang dikurasi oleh Tim 8 yang diketuai Jamal D. Rahman (Redaktur Majalah Sastra Horison) lewat buku setebal 777 halaman yang diberi judul “”33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” di tahun 2014. Kemunculan nama Denny J.A. membuat para sastrawan dan akademisi sastra di seluruh Indonesia meradang dan bertanya-tanya apa alasan kemunculan nama Denny J.A. dalam deretan tokoh sastra Indonesia tersebut sementara di sisi lain nama-nama yang memang sudah dikenal komunitas, kritikus, akademisi dan penikmat sastra seperti Seno Gumira Ajidarma, Danarto dan nama-nama lain tidak masuk dalam list. Alasan Tim Juri memasukkan nama Denny J.A. karena dianggap sebagai pembawa genre baru dalam dunia sastra Indonesia yang bernama “Puisi Esai”.

Padahal “Puisi Esai” itu bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia persastraan dunia dimana Penyair Inggris Alexander Pope sudah membuat karya tulis yang bernuansa mirip dengan puisi esai pada abad ke-17. Banyak sastrawan dan akademisi sastra di Indonesia mempertanyakan bahwa puisi esai Denny J.A. tak lebih dari esai yang dibuat dengan kata-kata puitis dengan plot, tokoh, drama seperti novel.Atas ramainya masalah ini, kemudian salah satu Juri di Tim 8, Maman S Mahayana, menyatakan menarik diri dan tulisannya (ada 5 esai yang dikontribusikannya yaitu Marah Rusli, Muhammad Yamin, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana dan Achdiat Karta Mihardja) serta mengembalikan honornya sebagai kontributor buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” tersebut. Selain itu, pengurus PDS HB Jassin merasa nama lembaga mereka dicaplok oleh Tim Juri. Diwakili oleh Ariany Isnamurti, PDS HB Jassin menegasikan keterlibatan mereka baik dari sisi dana, ide dan proses penyusunan buku 33 Tokoh Sastrawan berpengaruh di Indonesia. Pada tahun 2014 juga, sastrawan sekaligus jurnalis Republika, Ahmadun Yosi Herfanda, mengembalikan honor 10 juta rupiah  atas puisi esai pesanan yang dimintakan oleh Denny J.A. kepadanya melalui Fatin Hamama dan sekaligus menyampaikan pertobatannya dari “kejahatan dan pelacuran sastra”. Bahkan dengan yang sangat sarkas Ahmadun memakai istilah “Dajjal Sastra” untuk praktek-praktek pemopuleran puisi esai di Indonesia. Perdebatan keras antara Fatin Hamama dengan Saut Situmorang dan Iwan Soekri telah berujung pada pemenjaraan Saut 5 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Tanpa merasa terusik dengan gelombang kritik dan ketidaknyamanan dari gaya-gaya manipulatif bermodalkan kekuatan uang, Denny J.A. terus bergerilya untuk menguatkan eksistensinya sebagai pelopor dan promotor genre Puisi Esai di Indonesia. Pada tahun 2018 digulirkanlah Gerakan Nasional Penulisan Puisi Esai dengan melibatkan 5 penulis puisi per provinsi di seluruh Indonesia dengan pemberian honorium “yang layak” bahkan sangat menggiurkan bagi para sastrawan yang kebanyakan hidup dalam ketidakmenentuan finansial. Dari sanalah kemudian terbit 34 buku Antologi Puisi Esai dengan melibatkan 170 penulis. Yang menariknya, untuk memassifkan impak buku-buku puisi esai ini kepada masyarakat Denny J.A dan timnya mengandeng berbagai institusi pemerintah termasuk di dalamnya Balai Bahasa yang berada di bawah Kemendikbud. Langkah lanjutan Denny J.A dkk ini kemudian mendapatkan perlawanan keras dari kumpulan sastrawan “idealis” Indonesia dalam “Gerakan Anti Skandal Sastra” yang kemudian menelurkan buku “Skandal Sastra Undercover” yang merupakan kumpulan opini kritikan terhadap Politik Puisi Esai Denny J.A. dkk yang ditulis oleh para sastrawan, guru besar sastra kampus terkemuka di Indonesia, termasuk sastrawan-sastrawan yang merasa diperalat oleh Denny J.A. untuk menulis Puisi Esai pada tahun 2014.Tak sampai hanya di situ, “nafsu” Denny J.A. untuk semakin mengukuhkan diri sebagai Tokoh Sastra Indonesia merembet kepada akuisisi Satu Pena yang awalnya diinisiasi oleh para penulis, sastrawan, wartawan, budayawan dan akademisi pada Borobudur Writer and Cultural Festival 2016. Dimulai dari penghargaan Life-time Achievement yang diberikan oleh DPP Satu Pena (saat itu diketuai oleh Nasir Tamara) pada 15 Agustus 2021 di masa-masa Indonesia masih sibuk mengurusi pandemi dan para penulis/sastrawan masih mencoba sedikit bernafas setelah dihantam secara finansial dan kesehatan akibat lesunya dunia penerbitan dan penulisan sekaligus ancaman virus Covid-19 yang masih mencengkam. Sebagian pelopor dan inisiator Satu Pena kemudian mengambil jalan lain di tengah indikasi “independensi” dan “kemerdekaan” penulis dan sastrawan sudah bisa dibeli dengan uang semakin menguat. Mereka yang mengambil posisi “Anti Denny J.A.” mendirikan komunitas baru yang bernama ALINEA. Tak sampai satu minggu selepas diberikan penghargaan oleh DPP Satu Pena pimpinan Nasir Tamara, Denny J.A. berhasil menduduki tampuk pimpinan DPP Satu Pena periode 2021-2026.

Puncak kegelisahan terhadap Politik Sastra Denny J.A. adalah di tahun 2022 ketika Komunitas Puisi Esai binaan Denny J.A. mengklaim mendapatkan surat dari Komite Nobel Sastra yang berpusat di Swedia untuk mengusulkan nama tokoh sastrawan Indonesia masuk dalam nomine penerima Nobel Sastra 2022. Setelah berhasil mendaulat diri sebagai tokoh Sastrawan level nasional, kemudian Denny J.A. berambisi untuk mendapatkan award yang paling prestisius bidang Sastra tingkat internasional ini.Dalam kaca mata saya, IMLF yang diselenggarakan dengan sangat heroik dan kerja tanpa lelah para panitia dari masa Pra sampai pelaksanaan acara hanyalah bagian kecil dari upaya Denny J.A untuk memainkan Politik Sastra-nya. Cara-cara yang digunakan hanyalah copy paste dari metode yang sudah berhasil dimainkan oleh Denny J.A. sejak tahun 2012 yang lalu. Dimana ada insentif bagi para penulis yang mau membuat puisi esai dengan besaran 1 juta rupiah yang kemudian memang menarik banyak penulis “pemula” di Sumatera Barat. Kemudian membuat tajuk internasional adalah ciplakan dari kegiatan Denny J.A. yang melakukan diplomasi puisi esai dengan mengandeng penyair dan sastrawan Malaysia beberapa waktu yang lalu.

Dibandingkan cabang Satu Pena di provinsi lain, Satu Pena Sumatera Barat termasuk DPD yang sangat cepat bergerak dan berani mengadakan acara kelas internasional. Yang bahkan oleh DPP Satu Pena sendiri belum sempat diadakan. Maka tak salah dukungan finansial terhadap IMLF begitu besar. Ketika kantong-kantong sastrawan seperti Jawa Barat dan Yogyakarta melakukan perlawanan tanpa henti terhadap langkah-langkah Denny J.A., Sumatera Barat malah memberikan panggung dan menyambut dengan tangan terbuka kehadiran fisik, ide-ide sastra dan kebudayaan founder LSI ini. Banyaknya  penulis dan penyair pemula di Sumatera Barat yang masih polos dengan perdebatan Politik Sastra ala Denny J.A. di tingkat nasional telah membuatnya mendapatkan gelimang supporter-suporter bahkan die-hard militan di Sumatera Barat (beretnis Minangkabau).Sementara di sisi lain penyair, penulis dan sastrawan “lama” beretnis Minang atau yang tinggal di Sumatera Barat yang telah mengetahui “Skandal Sastra” yang diciptakan oleh Denny J.A. terlihat mencoba untuk mengambil jarak dengan kegiatan IMLF. Mereka masih menimbang-nimbang sejauhmana IMLF dan Satu Pena Sumbar dijadikan alat propaganda Denny J.A. untuk semakin mengibarkan diri sebagai Tokoh Satra Indonesia.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini