Kontrak Digital, Pergeseran Perancangan Kontrak di Era Society 5.0

Foto Harian Singgalang
×

Kontrak Digital, Pergeseran Perancangan Kontrak di Era Society 5.0

Bagikan opini

Oleh Hamzah Vensuri, S.H., M.H.Mahasiswa Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas

Perancangan Kontrak dalam ranah hukum perdata mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan tersebut tentunya juga berakibat kepada perubahan sistem pelaksanaan dalam kontrak. Ni'matul Huda menyatakan bahwa Perubahan perkembangan hukum dalam negara-negara modern terus terjadi, apabila telah memasuki tatanan hukum otonom dan responsif. Indikator yang mempengaruhi perubahan sistem ini salah satunya adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengharuskan setiap pihak yang berkepentingan dalam perancangan kontrak menyesuaikan diri.Perancangan kontrak tidak lagi melulu pada penulisan secara manual, tidak lagi pada tatanan mendatangkan para pihak di hadapan pembuat akta, dan tidak lagi terikat pada batas teritorial suatu negara. Teknologi sudah mengubah paradigma subjek hukum perdata ke ranah yang lebih efisien sehingga segala bentuk perikatan dapat dilaksanakan antar bangsa yang ada di dunia.

Perjanjian merupakan sebuah peristiwa hukum yang mengatur hubungan satu orang dengan satu orang lain atau lebih yang saling mengikat berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Perjanjian terletak pada ranah hukum privat sehingga melekat asas – asas Hukum Perdata pada setiap peristiwa Hukumnya.Kita tentunya tidak asing dengan adagium hukum yang menyatakan bahwa hukum itu selalu tertinggal satu langkah dari perkembangan masyarakat. Hal ini tidak dapat kita pungkiri, perkembangan dalam masyarakat itu terjadi seketika pada saat ada suatu peristiwa baru baik itu perkembangan teknologi maupun proses lain yang melahirkan kaidah hukum baru, sedangkan perancangan suatu kaidah hukum membutuhkan proses yang panjang dan matang agar dapat menjangkau secara responsif ke dalam tatanan masyarakat. Namun demikian proses pembaharuan materi hukum harus tetap diselenggarakan agar hukum tersebut tidak semakin usang. Berkaitan dengan perancangan kontrak kita sudah memasuki era digitalisasi. Fenomena ini ditandai dengan lahirnya secara pesat perusahaan-perusahaan yang bergerak dari bermacam sektor yang mulai menggunakan media e-commerce sebagai media untuk memasarkan produknya. Dengan demikian diperlukan suatu regulasi atau aturan privat agar kepentingan para pihak dapat terwadahi secara adil. Para pihak harus mendapat perlindungan dari setiap transaksi yang dilakukan secara daring. Pengaturan berkaitan dengan perancangan kontrak secara konvensional tentunya tidak serta merta hilang, karena tetap mengandung prinsip yang mendasar berkaitan dengan perjanjian.

Asas pokok kontrak digital dalam sistem e-commerce di IndonesiaAsas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: Membuat atau tidak membuat perjanjian; Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta; Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi:“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

 Bagaimana sikap kita dalam tantangan ini?

Tantangan ini tentunya akan menjadi sebuah shock therapy bagi masyarakat yang baru berhubungan dengan hal ini. Kita pernah mendengar berita kesalahpahaman antara konsumen Cash On Delivery (COD) dengan kurir. Konsumen menganggap bahwa COD itu merupakan tanggung jawab kurir, jika barang tidak sesuai maka dapat dikembalikan kepada kurir. Padahal kurir hanya bertugas sebagai pengantar. Perjanjian sebenarnya adalah antara konsumen dengan penjual. Agar tidak terjadi hal yang seperti itu, maka perlu beberapa sikap, baik sikap dari pemerintah maupun sikap diri sebagai individu.Sikap pemerintah dalam hal ini adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pergeseran pelaksanaan kontrak yang mulanya secara konvensional menjadi digital. Masyarakat perlu diberi edukasi edukasi bahwa kontrak atau perjanjian digital juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat sama halnya dengan perjanjian konvensional

Sikap diri sebagai individual adalah agar lebih bijak dan teliti dalam melakukan perjanjian atau kontrak digital ini karena ujung jari kita menentukan akibat hukum yang akan kita peroleh. Kita harus dengan hati – hati melakukan transaksi agar tidak merugikan kita sebagai pihak yang bertransaksi atau bahkan merugikan orang lain akibat perbuatan yang dilakukan. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini