Tentang Sepotong Malam yang Basah di Amsterdam

Foto Harian Singgalang
×

Tentang Sepotong Malam yang Basah di Amsterdam

Bagikan opini

Malam nan jelita tiba- tiba rusak, tatkala hujan jatuh bergegas di salah satu sudut Amsterdam, Rabu (22/2) malam. Diayun angin sehingga menambah dingin. Jaket anti air buatan Jepang yang saya pakai, mampu menahan, tapi dingin sedemikian tajam, membuat saya takluk dalam pelukan diri sendiri. Untung, tak lama benar, hujan berhenti.Malam di Amsterdam adalah keramaian di sepanjang tepian kanal. Kota ini memiliki lebih 100 Km kanal, 1.500 jembatan dan 90 pulau. Kanal adalah wajah kota ini.

"Om sudah dimana?" Anggota DPR Andre Rosiade bertanya lewat telepon." Di restoran," jawab saya.

"Oke, saya ke sana," kata dia. Andre yang digadang-gadang akan jadi gubernur Sumbar itu, berpengaruh tak hanya di dalam tapi juga di luar negeri. Itu soal kehebatan.Tapi, sekarang urusan saya tentang perut. Lapar dan kalau lalai akan masuk angin. Sedang urusan Amsterdam malam ini, soal genggaman tangan sejoli yang datang dari berbagai tempat. Malam adalah juga tentang kerinduan. Pada susunan pakaian dalam koper yang diatur istri. Di sini, berbagai orang dalam langkah mesra dan bergegas, menembus malam nan temaram.

Malam juga menggenggam kisah para mendatang. Yang pergi dari rumah dengan lambaian di pintu lalu tiba di sini, kota yang menanam kisahnya di tubuh sejarah. Negeri yang ketika musim gigil ini, gerai makanan hangat menghidangkan kehangatan pada pendatang yang membawa cinta hangat di matanya. Mereka orang- orang tinggi berjaket tebal, bersyal panjang yang dililitkan di leher. Pengunyah kebab, pasta, kentang, serta semua yang hangat sembari duduk di meja-meja kecil di troroar. Berdua. Ramai. Bersama anak, bersama pasangan atau kawan.Kota ini adalah tempat wisata dengan lampu-lampu taman yang setia. Saya sedang duduk di salah satu di antaranya. Di sebelah kiri saya pasangan muda dengan dua anak. Bahasa mereka tak saya mengerti.

Lalu-lalang orang dengan jinjingan, sehabis belanja, mampir dan tidak di sini adalah gambaran betapa uang beredar siang dan malam menyapa ke berbagai pintu yang terbuka. Datang dari pintu yang jauh, berbelanja lewat pintu-pintu tanpa perlu melihat arloji.Jika pesan tentang usia adalah kepasrahan maka di sini justru soal kesempatan untuk menaruh kepercayaan pada kekuatan hati. Untuk pergi menemukan yang tak ditemukan di kursi kerja.

Malam ini begitu jelita, seperti paras anak dan cucu tercinta. Seperti sebuah kemesraan yang datang bersama langkah. Langkah orang-orang yang melepas beban ke kota bernama Amsterdam. Kota yang basah dan berangin. Kota dengan jaket-jaket tebal. Sekarang seperti itu, adanya, sebelah saya benar, mereka tiba dengan membawa cinta. Cinta yang lain, sedang berkelana bersama lenggang orang-orang tinggi besar.Di Amsterdam ini, pada malam yang jelita itu, saya sedang menikmati cokelat hangat, cicip demi cicip. Dan ternyata tak bisa mengalahkan secangkir kopi kala pagi di rumah sendiri. (**)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini