Minangkabau Nan Gadang Ota dan Kanai Ota

Foto Harian Singgalang
×

Minangkabau Nan Gadang Ota dan Kanai Ota

Bagikan opini

Dulu zaman sekolah/waktu saya di SLA, hampir tiap hari saya pulang pergi naik oplet dari kampung ke Bukittinggi yang jaraknya sekitar 14 KM. Artinya, saya ini adalah asli anak kampung, karena dari kecil hingga remaja, walaupun sekolah di kota, tapi saya tidak meninggalkan kampung halaman. Tapi kemudian proses dewasa saya ditakdirkan di tanah rantau, pertama saya merantau ke Riau selama beberapa tahun, lalu hidup di tanah Semenanjung, seterusnya menjelajah ke berbagai negara, dari kutub Utara hingga ke kutub Selatan.Zaman dulu di kampung itu, saya mengikuti dan terlibat dengan berbagai macam kegiatan kehidupan sosial remaja, waktu itu hubungan lelaki-perempuan masih banyak terikat dengan nilai-nilai/norma-norma adat budaya Minangkabau. Contohnya, berjalan berduaan dengan yang bukan muhrim, walaupun dengan teman satu sekolah, tapi kala itu masih dianggap tabu. Lalu, ketika saya berbuat salah, misalnya saya merokok, ada saja orang dewasa yang menegur bahkan memarahi saya. Ia hanya orang sekampung saja, tidak ada hubungan famili dengan saya, dan orang tua saya pun tidak pula marah kepada orang itu, bahkan beliau berterima kasih. Keadaan itulah yang dulu dikatakan “Minangkabau bapaga hiduik; anak urang anak awak, kamanakan urang kamanakan awak,” artinya semangat kesatuan dan kontrol sosial terhadap prilaku generasi oleh masyarakat zaman  itu memang sangat kuat.

 HAM dan Keberlangsungan Kebudayaan Lokal

Mengenang kembali masa-masa kecil dan remaja yang penuh kenangan itu, saya teringat satu pribahasa Minangkabau yang hingga kini masih tetap erat melekat dalam ingatan saya, yaitu; jalan dialiah urang lalu, cupak dipapek urang panggaleh. Ini adalah kata-kata kiasan yang dalam pengertian budaya, artinya; adat istiadat/budaya dalam suatu negeri dapat diubah oleh orang asing yang tinggal di negeri itu. Jika  pengertian pribahasa tersebut dibawa ke alam Minangkabau zaman kini, maka kini orang asing itu tidak perlu lagi tinggal di negeri ini untuk merubah adat budaya kita. Berkat kecanggihan berbagai teknologi informasi, serta melalui semangat modernisasi dan globalisasi, secara perlahan tapi pasti, adat budaya Minangkabau sudah banyak nan baraliah tagak atau bergeser.Dulu muda mudi bukan muhrim sekedar jalan berduaan saja sudah dipandang miring, sekarang berpelukan di taman-taman wisata pun sudah dianggap biasa, belum lagi berbagai macam kebejatan moral, seperti zinah, LGBT dan lain-lain. Kalau dulu Minangkabau berbagar hidup, kini pagar itu sudah runtuh, sekarang cobalah tegur kesalahan anak orang lain, mangarengkang dia kepada kita. Atau cobalah memarahi anak orang, nanti orang tuanya tak akan terima. Jangankan kita, sedangkan guru saja jika ketahuan memarahi murid, ada saja orang tua murid yang datang ke sekolah, lalu marah-marah kepada guru, karena tidak terima anaknya dimarahi. Bahkan ada guru yang berurusan dengan pihak berwajib karena dianggap melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), ciptaan Barat itu!

Zaman dulu ketika belajar mengaji, tidak jarang guru mengaji mengajar sambil pegang cemeti/palacuik, yang main-main dan nakal sering dapat bahagian di telapak kaki, tapakiak, kadang-kadang nangis. Begitu juga di sekolah, pilin pusek, renjeang talingo, kena pukul jari dengan kayu penggaris adalah hal-hal biasa zaman dulu. Tapi anehnya di kemudian hari, jarang sekali ada para bekas murid yang dendam kepada guru-guru mereka. Bahkan kebanyakan berterima kasih atas cara didikan itu, hingga kini bila bertemu masih tetap santun dan sayang kepada guru-guru mereka. Saya sendiri adalah salah satu yang ikut merasakan dan mengalami hal sedemikian itu.Mengapa itu bisa terjadi, mengapa tidak ada dendam? Karena dalam budaya Minangkabau zaman dulu ada pameo; sayang di anak dilacuik, sayang di kampuang ditinggaan. Tapi kalau hari ini cara didikan zaman dulu itu dilakukan, maka guru akan berurusan dengan peraturan HAM. HAM kini sudah menjadi senjata yang sangat ampuh bagi Barat untuk menghancurkan budaya lokal non-Barat, termasuk tentunya budaya Islam. Fenomena LGBT dan kawin sejenis kini berlindung dibalik HAM, lalu kalau mau jujur mana HAM untuk Islam, serta HAM untuk kelanggengan budaya lokal?

Ketika kita kembali kepada sejarah, rasanya zaman dulu itu pendidikan dan praktek beragama orang Minangkabau belum sekuat dan sehebat sekarang. Kala itu belum ada SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu), pesantren, sekolah tahfiz, dan lain-lain. Orang-orang zaman dulu juga jarang yang bersekolah tinggi-tinggi amat, tapi mereka lebih beradat dan beradab meskipun ia seorang parewa.Sekarang jumlah para sarjana berjubel, profesor dan doktor mulai berserakan di mana-mana, belum lagi ditambah dengan para pemegang HC (Honoris Causa), tamatan sekolah agama apa lagi. Tapi apakah masyarakat kita sekarang semakin berakhlak mulia, termasuk para pemegang sederet gelar itu? Perhatikan dan cermatilah berbagai prilaku budaya masyarakat terpelajar ini dalam berbagai diskusi di berbagai media sosial, samakin jauah panggang dari api. Tak peduli apakah dia seorang tokoh, seorang terpelajar, mengaku seorang budayawan tapi kurang berbudaya, kata-kata kasar lancar saja keluar dari mulutnya/tulisannya di medsos, mudah menghujat sana sini. Itulah gaya prilaku komunikasi zaman moderen dan global ini, miris memang.

Dalam satu wawancara, tokoh pendidikan nasional asal Minangkabau Fasli Jalal (2022) menilai keadaan ini disebabkan kesalehan pribadi orang Minangkabau hari ini lebih kuat dari kesalehan sosial. Pernyataan Jalal ini, dalam hal hubungan kemanusiaan, saya terjemahkan sebagai; hablum-minallah lebih kuat daripada hamblum-minannas. Pada hal hamblum-minannas (hubungan antar manusia) itu adalah bahagian yang tak terpisahkan dalam hablum-minallah (ibadah kepada Allah). Dalam perkataan lain, sikap dan prilaku seseorang kepada sesama insan, akan menentukan kualitas keimanan dan kesholehannya. Artinya, telah terjadi ketidak-seimbangan pengetahuan dan pemahaman dalam praktek beragama orang Minangkabau zaman sekarang. 

Minangkabau Yang Tak Tahu DiriKesalehan sosial atau hablum-minannas tersebut pada intinya terkait dengan budaya, secara ringkas budaya dapat diartikan sebagai “cara hidup,” sebab itulah di mana ada manusia di sana ada budaya. Setiap orang, secara individu (laki-laki dan perempuan), secara berkelompok (bersuku-suku maupun bangsa-bangsa), mempunyai cara-cara hidup masing-masing yang tersendiri. Ciri-ciri dan keunikan budaya/cara hidup individu maupun kelompok itulah yang dinamakan sebagai “jati diri budaya.” Artinya, prihal kebudayaan bukanlah hal sepele. Pengertian budaya bukan hanya hal-hal yang terkait dengan soal kesenian atau hal-hal yang bersifat tradisi saja. Tapi memang begitulah yang selama ini sering dimaknai oleh sebahagian besar orang zaman kini. Sebab itulah budaya hari ini juga sering dianggap sepele, hanya sebagai pendukung kegiatan kepariwisataan saja. Di sinilah salah satu kesalahan besar itu.

Dalam QS. Al-Hujarat, ayat 13, Allah Swt. berfirman; “…Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Pengertian dasar dari kata “taqwa” menurut tafsir Ibnu Katsir adalah mentaati perintah Allah Swt., serta tidak bermaksiat kepada-Nya.Bila dicermati, melalui surah ini Allah Swt sudah memberikan tanda-tanda bahwa budaya/cara hidup (laki-laki & perempuan, berbangsa-bangsa, bersuku-suku) adalah fitrah manusia, dan untuk itu manusia disuruh untuk saling mengenal. Karena dengan mengenali budaya suatu kaum/bangsa, kita akan tahu dan paham prilaku budaya dan cara pandang mereka. Dengan demikian akan terjadi saling pengertian dan saling menghormati, sehingga akan tercipta perdamaian dalam kehidupan. Jika surah ini dijabarkan tentu akan amat sangat luas pengertiannya. Namun, sebelum mengenal (mengetahui dan memahami prilaku) budaya orang lain sebagaimana Allah Swt perintahkan, ada satu hal penting yang dilupakan oleh orang Minangkabau zaman sekarang, yaitu mengenal diri sendiri.

Dari hasil penelitian, saya bisa katakan bahwa hari ini kebanyakan orang Minangkabau, dari sisi kebudayaan (sebagai suatu suku kaum), mereka sudah tidak kenal lagi siapa dirinya alias “tidak tahu diri”. Salah satu penyebabnya, adalah karena mereka tidak tau dan tidak paham sejarah kaumnya maupun bangsanya, sebahagian ada yang hanya sekedar tahu saja, tapi tidak paham sejarah. Tahu dan paham adalah dua kosa kata yang sangat berbeda dalam penjabaran maknanya. Sebab itulah orang Minangkabau sekarang tidak mempunyai landasan dan pedoman yang kuat untuk berjalan ke depan. Ketika ada permasalahan, kita sering kali tidak punya rujukan sejarah yang kuat untuk mengatasinya, akhirnya saling menyalahkan.Tentu lebih celaka lagi bila ada seorang pemimpin yang tidak paham sejarah dan budayanya, karena sejarah kemanusiaan pada umumnya berbicara tentang prilaku budaya manusia zaman silam. Hingga kini masih ada terdengar istilah “jas merah” (jangan melupakan sejarah) yang sering keluar dari mulut para tokoh dan pemimpin. Tapi kebanyakan hal itu diucapkan hanya sekedar mainan di bibir saja, palamak carito, mereka sendiri belum tentu paham sejarah. Bahkan di negeri ini pernah santer ada isu mata pelajaran sejarah akan dihilangkan dalam sistem pendidikan nasional, betapa mirisnya, meskipun tidak jadi, tapi ternyata ada usaha ke arah itu. Bak kata kiasan, kalau ada asap tentu ada api.

Sejalan dengan perkembangan zaman, telah terjadi perubahan sosial pada masyarakat Minangkabau yang berdampak pada menurunnya tingkat pengetahuan, sikap, pemahaman dan pengamalan ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah), yang berujung pada hilangnya jati diri budaya. Pedoman dan dasar jatidiri orang Minangkabau itu adalah ABS-SBK, artinya setiap orang Minangkabau perlu tahu dan paham tentang adat dan agama (ajaran inti ABS-SBK), yang mana seharusnya keduanya seiring dan sejalan. Hal ini secara jelas dinyatakan oleh Naim (2004) bahwa salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat Minangkabau saat ini adalah hilangnya jati diri. Menurutnya, jika jati diri itu benar yang telah hilang, maka unsur-unsur lain juga akan ikut merosot dan tergerus. Orang lain tidak akan lagi melihat mereka, meskipun melihat, tapi hanya melihat dengan satu mata, yaitu memandang rendah. Oleh karena itu, saat ini masyarakat Minangkabau menurut Naim berada pada titik terendah dalam proses kehidupannya, yaitu telah kehilangan harga diri sebagai orang Minangkabau. 

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini