Rumah Budayawan Seniman Sumatera Barat

Foto Harian Singgalang
×

Rumah Budayawan Seniman Sumatera Barat

Bagikan opini

Yulizal Yunus (Pembawa Orasi Kebudayaan 13 Februari 2023 di Panggung Ekspresi Seni Taman Budaya Sumbar)Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yang saya muliakan Gubernur beserta OPD. Yang terhormat Ketua DPRD, Fokopimda beserta para pihak - stakeholders kebudayaan lainnya di Sumatera Barat. Teristimewa rekan-rekan saya budayawan seniman beserta hadirin hadirat yang saya muliakan.Izin sebelum berorasi. Saya, sebut saja yulizal yunus, terpapar juga di sedikit situs. Ada yang panggil yuyu. OK ! Bahasa orang pondok sana, yuyu itu artinya kakek. Siap! Memang sudah kakek dengan 7 cucu dari 6 anak. Kerja saya menulis dan menulis. Presentasi (ya sebagai pemberita media, eh juga medsos dan pengajar sastra di universitas putih sana - UIN Imam Bonjol). Karena menulis dan menulis, berakibat juga bikin kaget. Awal tahun 2022 lalu, saya dikagetkan berita AD Scientific Index 2022 tentang 5000 scientist (ilmuan) dunia, antara percaya atau tidak, karena tak ada angin tak badai bersiap-siap. AD Scientific Index 2022 itu menghargai saya sebagai berprestasi, katanya penulis dunia peraih rangking “World Top 100 History, Philosophy, Teology, Scientist (ditempatkan pada nomor urut 50) oleh AD Scientific Index 2022 itu. Tak percaya, saya bilang pada Eko Yance, wartawan utama Indonesia, dan ia me-WA saya, membenarkan! Katanya: itu indexing penulis dan tulisannya banyak dikutip peneliti akademisi muncul di google, hanya penulis yang banyak menulis saja yang terindex oleh AD Scientific. Tak tahulah saya, yang jelas saya memang tiada henti menulis sejak 1976, dibaca atau tidak, berbobot atau tidak, itu hak pembaca. Saya menulis sejarah, budaya, seni, sastra, nagari, Minang, Sumbar lainnya: essei, artikel, makalah seminar dan jurnal dan, khusus terbitan buku 129 judul.

Dulu-dulu bersama kawanan budayawan seniman, saya punya secuil pengalaman juga, “duduk tegak ngoceh dan bincang”, “lalok jago” di palanta PKP kemudian Taman Budaya. Mimpi-mimpi juga bagaimana wujud jadi karya, bagi kegemilangan kebudayaan. Lalu ada pada sejarah berdirinya Dinas Kebudayaan Tahun 2016 disusul perencanaan Tambud era Gubernur Irwan Prayitno. Besar tantangan Disbud, ada ciloteh ketika itu, saya dan kawan-kawan tergelenjek di DPRD, “jangan-jangan sudah ada pula Dinas Kebudayaan, nagari tak berkebudayaan”. Nyaris tak disetujui, tetapi DPRD piawai bersidang, palu yang terhormat itu dipukulkan juga.Sejak dulu, para senior yunior mengawal pemajuan kebudayaan itu nyata. Tanyalah Papa Rusli Marzuki Saria penyair besar Indonesia, senantiasa menghasut, menulis dan menulislah! Berkarya. Sejak dulu begitu motivasi senior berdampingan yunior. Sebutlah AA Navis, Zaidin Bakri, Rustam Anwar, Wisran Hadi, Mursal Esten, Bagindo Fahmi, Uni Raudha (Upita), Leon Agusta, Darman Moenir, Agusli Taher, Makmur Hendrik, P. Ruslan Amanriza, Muasri, Aciak Marizal Umar, B.Adoeska, Shofwan Karim, Emma Yohanna, Edy Utama, Harris Effendi Thahar, Zaili Asriel, Mak Katik, Hasril Caniago, Syarifuddin Arifin, Riyan de Kincai, Gazali, Didi, Bram, Fauzul Elnurca, Dasril Ahmad, Ariyanto Thaib, Noverman, Abrar Yusra, Hamid Jabbar, Alwi Karmena, Mustafa Ibrahim, Asbon Budinan, terus ke generasi muda yang gemilang lainnya Khairul Jasmi, Sastri, Ery Mefri, Muhammad Subhan, Mak Kari, Abdullah Khusairi, Rizal Tanjung, Yusrizal KW, Armeyind S, Hasanuddin Yunus, Sexri Budiman, Ka’bati, Pinto Janir, Zelfeni Wimra, Deddi Arsya, Syafrinal, Irhash, Muhafril dan di sana ada Tanjung Benua, Gus tf, Adri Sadra, Damhuri Muhammad, serta sederet panjang nama lainnya yang tak termuat dalam caratan saya… Maaf sasak pulo angok saya, mau menyebut semua, panjang.

Ajakan budayawan seniman senior- yunior tadi berkreasi, berekspresi seperti mau mondok di Tambud ini dulu PKP (Pusat Kesenian Padang). Dulu justru di PKP pasilitasi lahan publik ini, ada palanta boleh duduk, boleh merenung, terkantuk boleh tidur. Sampai sekarang bersama kawan-kawan budayawan seniman, saya senantiasa hadir dan siap hadir… kawan-kawan! Duduk di palanta Tambud di kedai Mak Datuk Saidano boleh juga, ngopi. Karena memang seperti kawan-kawan budayawan seniman merasa, bahwa GKSB-Tambud ini rumah budayawan seniman. Tambud taman seni, biarlah mereka di taman ini berkreasi berekpresi, mempresentasikan (pagelaran, pertunjukan) hasil kreasi dari mimpin-mimpi yang berwujud karya seni dan pikiran upaya pemajuan kebudayaan. Kami bangga dan menghargai kebudayaan sebagai indentitas bangsa di daerah, mau kami lebih baik dan lebih baik lagi, dan tak tagaduah!Tagaduah, Wacana Hotel Di-FGD

Seketika, ada isu aktual. Isunya Rumah Budayawan Seniman Gedung Kebudayaan Sumatera Barat (GKSB)-Tambud, Zona B mangkrak. Zona C-nya diwacanakan pula, pembangunannya segera dimulai, tapi alih fungsi menjadi Hotel Berbintang Lima! Budayawan seniman risau akan tagaduah. Pertanyaan galau mengisi ruang pikir. Di antara kawan-kawan saling bertanya-tanya! Kaifa halluk… madza tuhdats - hoax apa ini dan apa yang terjadi?.Wacana alih Zona C GKSB Tambud menjadi Hotel muncul juga dari FGD DED Reviu GKSB. Dipraksai PPK Dinas BMCKTR kawan kita Faizful Ramdan, ST, M.Sc, di Daima Hotel Jl. Jend.Sudirman no. 17 Padang. Melalui surat undangannnya tanggal 20 Des 2022, No. 2661 / CK-BMCKTR /2022, tempat Daima Hotel, Kamis siang 22 Desember 2022. Undangan menghadirkan para pihak kebudayaan. Diundang 10 personal budayawan seniman, perorangan disebut nama-nama. Mereka Edy Utama, Yulizal Yunus, Hasril Chaniago, Yusrizal KW, Puti Reno Raudha Thaib (tidak hadir), B. Andoeska, Ery Mefri, Syarifuddin Arifin, Armeynd Sufhasril dan Rizal Tanjung. Tentu tidak mengatasnamakan budayawan seniman Sumatera Barat, koreksi mereka.

Dalam FGD itu seperti terjadi kesenjangan komunikasi. Dinas BMCKTR menjelaskan, peningkatan fugsi Zona C GKSB alih fungsi menajdi Hotel Bintang Lima. Timbul beragam tafsir. Perinsipnya, peserta FGD menolak alih fungsi Zona C menjadi Hotel. Diyakinkan alih fungsi, arahnya menunjang pariwisata. Dalam berkebudayaan memang tak dapat dipungkiri, produk kebudayaan termasuk seni dapat ditunjang produk pariwisata. Namun pertanyaan penting, dengan alih fungsi Zona C ke hotel di Tambud, mungkinkah disinergikan taman budaya dan hotel? Kawasan hiburan dan bisnis eksekutif? Dialog terjadi, kadang alot.Edy Utama khawatir persandingkan Tambud dan hotel. Sejak awal (2015) ia telah menulis di media tentang “kawasan budaya”. Untuk berkreasi dan berekspresi, masih bisa di gedung sederhana. Yang penting komitmen mau gedung mewah dan atau sederhana. Toh Pekan Budaya 2022 kemaren pun bisa berlangsung di ruang parkir. Ia menyebut membangun gedung mewah kebudayaan seperti GKSB mesti penuh pertimbangan. Biayanya mahal, marasai pemerintah. Belum lagi biaya standar teknis pertunjukan dan pementasan, berbanding penyediaan anggaran bantuan pemerintah. Pandangan banding mengenai pembangunan GKSB diberikannya dengan mengingat kemegahan gedung opera house Sidney dan Esplanande Singapura. Pengalaman pertunjukan di sana di samping di manca negara, ia sebut tidak cukup dengan kemegahan gedung saja, tetapi justru ditopang oleh dua sistem yang bersinerji yakni sistem industri kebudayaan dan sistem industri pariwisata. Namun Pada gilirannya membutuhkan komitmen kuat pemerintah terhadap sinerji dua sistem ini (budaya dan pariwisata) yang nanti bermuara kepada kebijakan dan pasilitasi pendanaan yang cukup besar untuk gerakan kebudayaan di samping pengelolaan dan pemeliharaan GKSB yang besar dan megah itu. Karenanya ia bertanya, apakah sudah diputuskan secara tegas oleh pemerintahan (Pemda/ Gubernur dan DPRD) tentang alih fungsi Zona C ke Hotel?

Hasril Chaniago (HC) memperkuat pertanyaan seperti tadi. Apakah sudah menjadi keputusan Gubernur dan disetujui DPRD? Kalau belum tangguhkan dulu FGD mengenai alih fungsi Tambud Zona C ke hotel itu. Sebagai berbagi pikiran HC membandingkan pengalaman pengelolaan pusat kebudayaan dan pembiayaan, di dalam dan luar negeri, berujung kepada tuntutan komitmen kuat pemerintah tentang kebijakan pemajuan kebudayaan terutama kebijakan penganggaran.Rekan Syarifuddin Arifin juga khawatir Zona C GKSB menjadi hotel. Ia menyebut pengalaman berkesenian dan berkebudayaan, sulit mendekatkan hotel dengan pusat kebudayaan. Di pusat kebudayaan seniman memerlukan kebebasan gerak. Seniman bukan tidak membutuhkan kemewahan untuk tempat bertemu, berbica dan tidur enak seperti di hotel, tetapi bagi seniman itu akan mendapatkan kepuasan lebih dengan kebebasan berkesenian di pusat keseniannya. Setelah mereka berekspresi, justru kadang enak saja tidur di planta bahkan kadang tidak mandi tiga hari, sebut Syarifufdin seniman penyair besar itu berkelakar. Karenanya ia khawatir, kalau dipersandingan hotel dan Tambud, dimungkinkan kebijakan manejemen hotel akan menghambat gerak seniman budayawan di zona itu.

Beda pandangan Armeynd Sufhasril seniman muda yang kreatif itu, tidak menekankan kendala kawasan hotel berdampingan dengan Tambud. Ia justru melihat dengan adanya hotel di Tambud, akan mengurangi ruang gerak seniman untuk mempresentasikan dan mempertunjukkan karya seni mereka. Hotel pihak swasta memerlukan ketenangan, sementara Tambud rumah budayawan seniman tidak dapat menghindari suasana hiruk pikuk dengan penampilan produk kreatifitas seni mereka. Kalau begitu tambud sajalah.Kata Khairul Jasmi (sumbarsatu 14/1/2023) “mending Taman Budaya, ada Hotel, mending tidak”. “Di Tambud, boleh hotel, tetapi beresiko bagi keduanya. Hotel butuh ketenangan, Tambud rumah seniman, tidak bisa menghindar dari suara hiruk pikuk” sebut Armeynd Sufhasril tadi. Sementara Ery Mefri melihat, seniman juga membutuhkan hotel tempat tidur enak sebagai penghargaan kepadanya yang memproduk karya mahal. Urusan berkarya seni boleh di sanggar masing-masing. Tambud dibutuhkan bagi pemasaran seni, pertunjukan, pementasan dan pameran karya kreasi seni. Hotel produk wisata, hulunya budaya. Ada budaya dulu baru ada pariwisata. Artinya hotel ada tak masalah, tapi kalau ruang budaya Tambud tidak ada dan tagaduah, baru masalah, telisik Ery Mefri. Karenanya, “kenapa harus hotel, kenapa tak Tambud didisain menjadi kawasan kreasi dan berekspresi memanfaatkan dunia digital”, saran Yusrizal KW. Lebih menarik lagi peringatan Rizal Tanjung, katanya “kenapa harus hotel, kenapa tak mesjid. Di Tambud tak ada mesjid, yang ada kamar kecil, disertai ruang shalat disebut mushalla , ala surau di nagari jiran, yang tak pula sama dengan konsep surau Minangkabau yang mengajarkan mengaji, adat dan silat.”

Perinsip budayawan seniman, menolak zona C GKSB- Tambud, alih fungsi menjadi hotel. Serasa rumah mereka dirampas. Justru mimpi janji lama kemegahan Tambud, seperti akan terancam. Dalam impian, kalau siap, betapa GKSB Tambud akan menjadi rumah seniman yang nyaman. Bahkan mungkin nanti akan termegah dan terbesar di Indonesia Bagian Barat. Letaknya strategis. Di pinggir laut, ujung barat Taman Budaya (Tambud) Sumatera Barat berdiri, terdapat taplau pantai Padang dengan samudra lautnya yang luas. Laut cermin lebar Tambud tempat menginspirasi untuk berkreasi dapat menjadi simbol luasnya wawasan pemajuan kebudayaan. Seperti berfilosofi, “sungguhpun kawat yang dibentuk, laut luas hendak diduga”. Menjadi tamsil, dari rumah seniman berkarya, lahir keluasan gerakan trasformasi budaya seiring perubahan global dengan era digital dalam pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat. Bentuk dan posisinya bagaikan kapal (dandang) tertanjak (tertambat) di gurun (darat). Dimungkinkan menyentuh filosofi dapat digunakan bagi keberlanjutan pemajuan dan ketahanan budaya cara apapun. Ibarat pepatah dalam makna positif: “ta’ laloe dandang di aie, di goeroen ditandja’kan ! Artinya perjuangan ketahanan budaya tak pernah berhenti, tak boleh kandas. Ada tantangan, itu biasa, justru tantangan menjadi energi untuk lebih maju dalam berkebudayaan dan berkesenian.Karenanya budayawan seniman berjuang jangan ada hotel di Tambud rumah mereka berkreasi dan berekspresi. Mereka menanti pelaksanaan kepastian arah pembangunan Tambud GKSB. Menanti itu adalah manusiawi, terasa lama, gelisah dan muncul berbagai kata. Kata jadi buah bibir. Sialnya disambar pula pihak yang tak tahu masalah. Digoreng di medsos dan di dunia digital, ramai. Justru semua orang menjadi jurnalis tanpa editor. Ada juga sialnya ada pula rewardnya. Sialnya, secara sepihak negarif untuk budayawan seniman. Rewardnya dorongan percepatan kepastian arah pelaksanaan pembangunan Tambud-GKSB Zona C oleh pemerintah, tetap menjadi Tambud.

Ada juga yang patut disadari, kabar, berita dan pemberita itu kuat. Kalau ada dua mata hari pasti satu di antaranya pemberita. Apalagi berita digital, amat menguat dan kuat. Kadang sulit membedakan entah mana yang hoax (bahasa kampung saya hauhau, tak pasti) dan mana yang haq (yang benar, yang pasti). Namun satu hal yang perlu tahu pula, apa saja yang namanya khabar (kabar) kata guru balaghah (orasi) saya, bahwa berita tidak pernah terbebas dari kadziba (dusta). Kalau dusta dominan akan menjadi berita hoax, apa lagi datang dari orang yang disebut al-fasikin. Lalu, ada petunjuk, meretas purbasangka, itu hoax atau itu haq dalam nilai Al-Qur’ani, perlu tabayyun (check and recheck) mencari yang haq (benar). Artinya, lawanlah hoax dengan haq. Justru Khairul Jasmi dalam tulisannya “Kita-kita Kaum Mendang-mending” (sumbarsatu, 14/1/2023), membuat kita tersadar, “Indonesia apalagi Minangkabau sedang diculik dunia digital”. “Karenanya upaya kolobarasi melawan hoax sangat penting dilakukan”, rekomendasi wartawan senior budayawan seniman novelis sejarawan yang ketua editor itu.Tak bolehlah lengah apalagi diam, dalam mesra bermedsos era digital, kadang tanpa disadari ada kabar, “talongsong”, membakar rasa muwafaqah, like and dislike bahkan mungkin membuat muka merah padam “sementara para pihak kebudayaan” dan ada merasa dibully (bahasa kampung saya dibului). Soal ini, kita penting dewasa, fenomena itu tak di negeri kita saja terjadi. Di Negeri Paman Syam AS itu, juga ada. Tidakkah didengar, “Waiting for the Call” (dalam liriknya yang berkesan: oh Allah I am Waiting for the Call), ciptaan Michael Jackson penyanji pop dan pencipta lagu AS itu yang baru mengucapkan syahadatain di Los Angeles pada rumah temannya Steve Porcaro, terkena juga like and dislike itu. Lagu yang dapat meneteskan air mata penikmatnya, yang rindu Allah, rindu rumahNya Ka’bah, rindu Islam, dicekal, tidak boleh dipublish dan dirilis. Baru terakhir beredar, luar biasa.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini