Menolak Power Wheeling Adalah Keharusan!

Foto Harian Singgalang
×

Menolak Power Wheeling Adalah Keharusan!

Bagikan opini

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) Arifin Tasrif mewakili Presiden Joko Widodo telah memastikan tidak akan memasukkan klausul skema power wheeling dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET.Hal ini disampaikan seusai rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR RI, Selasa, 24 Januari 2023. Namun, Dwan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Panitia Kerja (Panja) Komisi VII yang sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait kebijakan pembangunan infrastruktur dari Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) bisa berpotensi memasukkan kembali klausul power wheeling yang telah dikeluarkan dari DIM oleh pemerintah tersebut.

Lalu, apa urgensi penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit (power wheeling) swasta untuk menghasilkan listrik yang akan dijual kepada konsumen masyarakat? Dan, kenapa ada upaya sebagian anggota DPR tetap ngotot memasukkan klausul ini, serta apa alasan publik atau rakyat Indonesia harus menolak juga dengan tegas!? Penolakan publik sangat beralasan dari aspek ekonomi selain konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945.*Merugikan PLN*

Pertama, selama ini, pihak swasta telah diberikan ruang oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kerjasama Penyediaan Tenaga Listrik Dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik dan Permen ESDM No.11/2021, khususnya Pasal 46 dan 47 untuk bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyediakan pembangkit listrik lewat skema Independent Power Producer (IPP) dan mekanisme pembayaran Take Or Pay (TOP), artinya tidak terserap pun PLN wajib membayar kepada pihak swasta, IPP.Kedua, selain pembangkit listrik IPP, maka dihulu pun pemerintah memberikan kepada swasta untuk memasok bahan baku batubara sebagai bahan bakar mengoperasikan pembangkit yang harga per metrik ton nya selalu berfluktuasi berdasar harga keekonomian dunia. Posisi ini, akan membuat PLN menjadi kesulitan dalam mengelola satuan Harga atau Biaya Pokok Produksi (HPP/BPP) sebagai pembentuk Tarif Daya Listrik (TDL) yang akan dibebankan kepada konsumen akhir jika harga batubaranya naik meskipun telah ada kebijakan kewajiban harga pasar domestik (Domestic Market Obligation/DMO).

Yang ketiga, pihak swasta ini tidak mengeluarkan dana investasi untuk membangun infrastruktur jaringan, atau hanya *menumpang* penggunaan jaringan PLN untuk pembangkit daya (power wheeling) swasta melalui klausul khusus pada RUU EBET. Hal ini sama saja ibaratnya dengan mengambil alih secara perlahan bisnis inti (core business) PLN. Meskipun, pihak swasta nanti akan dibebankan biaya sewa melaui sebuah peraturan, tetap saja memperpanjang distribusi aliran listrik kepada konsumen yang otomatis akan menambah biaya-biaya operasional dalam jangka pendek serta berpengaruh pada TDL PLN yang semakin mahal sementara posisi PLN sedang kelebihan pasokan listrik (over supply) dan tentu akan berpengaruh pada kewajiban pembayaran TOP kepada swasta IPP.Selain itu, data kelebihan pasokan pada tahun 2021 miisalnya telah membuktikan kapasitas terpasang listrik yang sebesar 349 ribu Giga Watt hour (GWh) hanya menghasilkan energi listrik yang terjual sebesar 257 ribu GWh. Artinya, terdapat selisih 26,3% yang menjadi tidak terpakai (idle), sedangkan tahun 2022 menurut Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo diperkirakan naik sebesar 56%. Dengan asumsi biaya pokok perolehan listrik tersebut rata-rata adalah Rp 1.333 per kWh, maka dengan kelebihan pasokan listrik sebesar 26,3% itu, potensi kehilangan pendapatan PLN kurang lebih sejumlah Rp 123 triliun lebih dan meningkat menjadi Rp246 triliun pada tahun 2022.

Atas alasan-alasan itulah, maka publik harus menolak adanya klausul power wheeling yang dipaksakan kembali dalam RUU EBET demi keuntungan pihak swasta atau orang per orang, tetapi merugikan konsumen masyarakat Indonesia dan keberlangsungan hidup PLN sebagai BUMN yang mengelola cabang hajat hidup orang banyak ini. Ibaratnya, pihak swasta ini hanya menitipkan produk atau barang dagangannya pada PLN, urusan terjual atau tidak terjual listriknya menjadi tanggungjawab PLN.Oleh karena itulah, agar pemerintah juga taat pada hukum, selayaknya setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 14 Desember 2016 yang telah membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, maka peraturan lainnya yang sejenis (termasuk Permen ESDM No 1/2015 dan No.11/2021) telah batal demi hukum dan konstitusi serta wajib dicabut oleh Menteri ESDM!

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini