Mamak  Feminis: Jangan Menyuruk di Padi Rebah

Foto Harian Singgalang
×

Mamak  Feminis: Jangan Menyuruk di Padi Rebah

Bagikan opini

Suatu pagi, masuk pesan whatApps dari seorang wartawan senior yang saya hormati, Khairul Jasmi (KJ). Beliau sekarang menjabat sebagai komisaris di Semen Padang. Isi pesannya begini: Rangkayo - izinkan saya mulai hari ini melekatkan panggilan itu sebagai cara memuliakan kaum intelektual perempuan Minangkabau.Beberapa detik setelah membaca pesan mengejutkan itu, saya langsung membalas: Ada apa ini Bang Pres?

Pres itu panggilan kehormatan kami untuk beliau: Presiden. Pada masanya dulu di Padang pernah berdiri sebuah perkumpulan wartawan bernama Padang Pers Club (PPC). KJ didaulat sebagai presiden sepanjang masa di organisasi tersebut. Tentu saja perannya tidak seperti peran presiden, tetapi lebih kepada peran niniak mamak. Kepada Pres KJ lah hampir segala macam persoalan diadukan. Mulai soal pemberitaan sampai soal beras di rumah yang tinggal segenggam.  Dan KJ, dengan caranya pula, dengan searif-arifnya akan memberikan jalan buat menyelesaikan persoalan-persoalan hidup yang dialami para wartawan yang mengadu padanya.  Saya yang walaupun bukan anggota PPC ikut pula mengangkat mamak kepada beliau.Kenapa kita harus bermamak dan apa yang lebih dari mamak? Kalau pertanyaan ini diajukan kepada orang minangkabau yang tahu kelam kelatnya hidup sebagai bagian dari kaum matrilineal ini, jawabannya sudah pasti; Mamak berpisau tajam, kemenakan berleher genting. Mamaklah yang punya wewenang memutuskan soal-soal penting berkaitan dengan hajat hidup kemenakannya, bukan ayah atau ibu.  Mamaklah yang sebenarnya pemimpin di dalam kaum.

Baik kaum, mamak ternama, buruk kaum  mamak pulalah  pangkal balanya. Tercoreng nama keluarga mamak yang dulu dicari orang. Memori kolektif— bangsa yang mengaku beradat tinggi ini—masih memegang kepercayaan seperti ini sampai sekarang. Dan yang penting dicatat pula, seorang mamak adalah seorang laki-laki.Siapakah yang menetapkan kalau mamak harus seorang laki-laki? Tidakkah perempuan boleh menjadi mamak? Kalau posisi ini yang digugat iya bisa senewen kita disebut orang di Minangkabau ini. Karena kekuasaan kaum laki-laki dan posisi pemegang otoritas mamak atas kemenakan itu memang sudah paripurna mutlaknya. Bak meminta sisik ke limbek (lele), kalau ada ide menukar mamak jadi perempuan. Mustahil.

Pernah dulu saya dan beberapa kawan aktifis perempuan melontarkan gagasan tentang mamak perempuan. Alasan kami sederhana saja, jika di kaum tak ada laki-laki yang bisa diandalkan sebagai pemimpin, sementara begitu banyak persoalan membelit diri, semisal pembagian waris yang tak adil, pusaka yang dirampas orang, rumah yang mulai roboh, sanak saudara yang putus sekolah, tak sanggup membayar biaya berobat, suami yang berlaku sewenang-wenang dan sebagainya, kemana akan mengadu? Sementara lelaki yang harusnya jadi mamak pergi merantau. Di rantaupun sibuk pula dengan keluarganya. Tidak bisakah dalam kondisi seperti itu diangkat mamak perempuan? Ternyata ide kami tertawakan orang saja.Itulah kemudian, kenapa akhirnya saya menumpang mamak kepada Pres KJ, walaupun untuk hal yang berkaitan dengan pekerjaan saja. Saya tentu mencari mamak yang punya pisau tajam. Kepada KJ lah kemudian saya banyak belajar dan minta pendapat, jika ada hal-hal yang terasa mengganggu. KJ, sejauh ini saya rasa cukup dekat dengan gagasan feminis. Beberapa tulisan dan bukunya bicara tentang gagasan kesetaraan dan memuliakan perempuan. Tulisan-tulisan KJ tentang tokoh perempuan Minang seperti Rohana Kudus,  Rahmah El Yunusiah dan terakhir ini Rasuna Said membuat saya yakin bahwa beliau bisa menangkap bahwa perempuanlah sesungguhnya motor perubahan jika Minangkabau ingin dibangun lebih baik. Sejarah telah membuktikan, begitu kira-kira pesan yang saya tangkap dari setiap tulisan yang dia buat dan dia kirimkan ke saya untuk dibaca.

Saat ini krisis kepercayaan diri orang minang kembali memudar, setelah beberapa dekade lalu pernah terguncang kalah dalam seteru politik dengan kawan di seberang. Angka LGBT di Sumbar menurut beberapa media tertinggi di Indonesia, tingkat perceraian juga tinggi. Kasus kekerasan (KDRT) selalu muncul sebagai berita di media disusul pencabulan anak di bawah umur oleh garin masjid dan penyimpangan susila lainnya yang bahkan binatang saja tak berani melakukannya. Belum lagi potret kemiskinan seperti  kasus busung lapar dan stunting, pengemis, pencurian, perampokan, penipuan. Sebut sajalah, apa yang tidak. Kalaulah kita mencari-cari pangkal bala persoalan, tentu yang masuk akal (sesuai kontruksi berpikir orang minangkabau) dipertanyakan itu adalah pemimpinnya, mamaknya siapa? Apa yang sudah dilakukan oleh mamaknya? Jangan coba-coba menyuruk di padi rebah.KJ kemudian membalas chat saya: Saya sudah merenung lama, dan semakin menyadari bahwa  kekacauan minangkabau yang terjadi selama ini tersebab oleh perempuan-perempuan  kurang dimuliakan, kurang mendapat apresiasi dan sempit tempat duduknya dalam sejarah. Oleh karena itu mulai hari ini saya menyatakan akan memanggil seluruh perempuan-perempuan hebat di Minangkabau ini dengan panggilan RANGKAYO.

Diksi Rangkayo ada dalam sejarah. Kata ini merupakan penobatan terhadap posisi mulia kaum perempuan. Dalam perjalanannya, kata Rangkayo memang memuat nilai-nilai luhur dan pengakuan bahwa  tempat yang baik tersedia juga bagi perempuan dalam struktur adat matrilineal yang cenderung patriarkis ini. Kato rangkayo, kato didanga.Ketika mengetik tulisan ini, saya tersenyum sendiri, apakah mamak saya KJ sedang menunjukkan keberpihakannya kepada kaum perempuan atau sudah angkat bendera sebagai mamak maskulin dan bersedia menjadi mamak yang feminis?

Bagaimanapun saya harus berterimakasih kepada beliau karena eksistensi manusia itu akan menguat salah satunya tersebab keberadaannya diakui. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini