Niat Bikin Mahligai, Tambud Malah Jadi Bengkalai

Foto Harian Singgalang
×

Niat Bikin Mahligai, Tambud Malah Jadi Bengkalai

Bagikan opini

Bertahun-tahun sudah lamanya seniman kehilangan rumah mereka, Taman Budaya Padang. Sejak bangunan-bangunan di sana dirobohkan, pada Tahun 2015. Sudah lebih dari tujuh tahun, dan entah sampai kapan rumah itu akan kembali ada.Pemerintah telah lasak ingin mendirikan mahligai namun sekarang justru jadi bengkalai.

Pembangunan gedung kebudayaan ibarat rencana memberikan rumah baru yang lebih bagus, lebih mewah, agar nyaman penghuninya. Namun setelah rumah lama dirobohkan, penghuninya tersingkir, terusir, dibengkalaikan teramat lama.Entah dimana para seniman akan beraktivitas, terbilang sudah cukup amat lama aktivitas seni dilaksanakan dalam ketidaklayakan. Pentas seni dan pertunjukan di bawah bangunan atau ruangan yang tak selesai, tanpa panggung, tanpa kursi penonton yang layak, tanpa kecukupan berbagai hal. Berlatih pun tiada tempat.

Bukan hanya seniman sebenarnya yang telah kehilangan ruang  di taman budaya. Anak-anak, pelajar, mahasiswa yang suka beraktivitas seni di sana telah pula kehilangan rumah. Di sana dulu biasanya mereka berlatih dan belajar.Orang-orang yang suka menonton aktivitas seni, telah pula dirampas haknya. Saya salah seorang diantaranya.

Jika tak tahu mau kemana  menghilangkan penat atau bosan, acap ke sanalah saya bermuara. Ada-ada saja yang bisa dilihat, pengobat hati, pengisi waktu, penambah ilmu. Anak-anak yang berlatih menari. Para pelajar yang latihan teater, dan para seniman yang berdiskusi, berdialektika di sela-sela latihan atau aktivitas. Terutama saya menunggu agenda pentas dan pertunjukkan dan setia menghadirinya.Taman budaya pula adalah titik temu pertemuan yang tak perlu direncanakan, ada-ada saja yang akan bertemu, seseorang yang ingin dibaca puisi terbarunya, seseorang memperlihatkan karya sastranya yang dimuat di media massa, seseorang  memperlihatkan naskah skenario teater yang sedang ia tulis. Para junior bertemu senior, para pemula bertemu seniman yang telah lama berproses.

Taman budaya adalah titik temu yang memicu aktivitas karya dan seni tetap mengalir. Namun titik temu itu telah direnggut sejak lama.Taman budaya  sekarang seperti dihalau garudo. Tak berbentuk, centang-perenang. Pembangunannya serupa uruik salido, makin diuruik, kian cido.

Pemerintah agaknya memang tak punya minat mengurus kebudayaan, kecuali merusaknya.Ruang kebudayaan dan aktivitas seni telah diporak porandakan oleh ego akan megahnya pembangunan, citra dan nama besar.

Rencana pembangunan yang tak kunjung berhasil selesai, justru tak henti menimbulkan permasalahan lagi dan lagi.Permasalahan pembangunan yang macet, mangkrak, permasalahan anggaran yang tak memadai, kasus dugaan korupsi, permasalahan pengembalian anggaran yang bermasalah, permasalahan bagian gedung yang sudah tampak rusak bahkan sebelum seutuhnya selesai dibangun.

Terbaru ditambah lagi dengan wacana pembangunan hotel di sana. Wahai, semakin dirampasnya ruang kita, akan kian sempit ruang kebudayaan dan berkesenian, dua hal harta berharga Ranah Minang. Kita adalah masyarakat seni dan budaya yang kaya.Petisi penolakan pembangunan hotel yang digagas wartawan senior sekaligus seniman Nasrul Azwar tentulah bersambut. Para seniman sekarang berdiri melawan perampasan ruang seni budaya. Telah terlalu lama mereka bersabar.

Pembangunan gedung kebudayaan awalnya adalah untuk kebudayaan, ruang seni. Maka kembalikanlah seperti rencana awal, begitu desak sejumlah seniman yang mengikuti petisi. Mereka menolak keras pembangunan hotel.Dalam perencanaan awal gedung kebudayaan, hotel memang tak ada dalam rencana.

Gedung dibangun menjadi tiga zona, zona A, B, dan C. Konsep pembangunan tahun jamak demgan penanggung jawab  Dinas Bina Marga, Cipta Karya, dan Tata Ruang Provinsi Sumatra Barat.Penyelesaian pembangunan ZONA A menelan biaya Rp57 miliar yang bersumber dari APBD Sumbar ZONA B dibangun dengan dana  Rp25 miliar pada 2018 dan Rp32 miliar pada Tahun 2019. Rencananya selesai tahun 2020.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini