Prioritas industrialisasi sektor pertanian komplek ini juga merupakan tantangan bagi pemerintahan di Sumatera Barat, termasuk para Bupati dan Walikota serta tidak bisa dibebankan hanya kepada Gubernur. Tentu saja, hal ini juga menjadi permasalahan Indonesia tidak saja dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pasca pandemi Covid-19, namun juga Indonesia perlu melakukan transformasi ekonomi, dengan secara perlahan-lahan lepas dari ketergantungan sumber daya alam atau bahan mentah yang selama ini telah menjadi penopang utama struktur perekonomian dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Perlu kebijakan afirmatif yang memadai agar industrialisasi sektor pertanian komplek dapat berjalan optimal sehingga akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dan wilayah mampu memberikan nilai tambah dan mengurangi ketimpangan struktural dan sektoral.Transformasi industri sektor pertanian komplek ini penting diwujudkan agar Indonesia dan Provinsi Sumbar khususnya menjadi negara yang memiliki daya saing manufaktur tinggi, dan berorientasi pada pengembangan sektor industri pengolahan, perdagangan dan jasa modern. Dengan terbentuknya nilai tambah produk-produk industri sektor pertanian, maka akan meningkatkan kesejahteraan para petani, pekebun, peternak dan nelayan yang merupakan mayoritas profesi rakyat Indonesia. Tentu saja integrasi sektoral juga harus menjadi perhatian penuh (concern) pemerintah daerah dari hulu ke hilirnya untuk memastikan bahwa akan terjadi perubahan struktural melalui kebijakan ini. Pemberian insentif secara langsung kepada kelompok masyarakat pertanian komplek adalah salah satu faktor yang mampu mempengaruhi minat publik dalam mengembangkan sektor industri ini.
Selain itu, pengembangan kelembagaan Koperasi adalah jalan yang tepat untuk mengintegrasikan sektor pertanian dari hulu sebagai pemasok bahan mentah pertanian yang kemudian diolah untuk membentuk nilai tambah (added tambah). Integrasi di sektor hilir juga harus dilakukan melalui sektor perdagangan yang didominasi oleh Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) yang difokuskan pada upaya meningkatkan akses dan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) dalam pengelolaan keuangan (finansial literacy) dan non keuangan melalui program pendampingan yang dilakukan oleh konsultan atau fasilitator. Sebaliknya, apabila industrialisasi sektor pertanian komplek ini diserahkan kepada korporasi swasta, maka kesejahteraan petani, peternak dan pekebun serta masyarakat pada umumnya tidak akan meningkat, justru orang per orang pemilik perusahaan sajalah yang akan semakin kaya raya, apalagi itu dikuasai korporasi swasta asing.Tantangan utama Gubernur Sumbar dalam merealisasikan visi-misi dan lima sektor prioritas, yaitu Pertanian, Peternakan, Pariwisata, Koperasi dan UMKM serta Perikanan dan Kelautan yang telah disampaikan dalam kampanye pemilihan Gubernur lalu, tidak saja berasal dari faktor eksternal, namun juga berada diinternal pemerintahan atau birokrasinya. Dalam 5 tahun ke depan (efektif 4 tahun) fokus kepada sektor pertanian telah ditegaskan oleh Gubernur Mahyeldi dengan mengalokasikan anggaran 10 persen dari APBD. Gubernur Sumbar harus memastikan bahwa dalam menindaklanjuti prioritas lima sektor tersebut harus mendapat dukungan penuh dari dalam pemerintahan atau birokrasinya jika tidak ingin kinerjanya stagnan.Kuncinya adalah dukungan dari birokrasi yang handal efektif dan efisien juga merupakan faktor kunci keberhasilan kepemimpinan Gubernur Sumbar, terutama sekali Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dalam memperbaiki kinerja perekonomian, khususnya merubah posisi peringkat enam pertumbuhan ekonomi se-Pulau Sumatera. Oleh karena itu, dibutuhkan birokrasi yang bukan bekerja biasa-biasa memenuhi rutinitas saja, tapi para birokrat luar biasa yang mampu bekerja di luar buku teks atau di luar kotak (out of the book thinking/out of the box). Tidak hanya bekerja biasa-biasa atau menuruti dan menunggu perintah saja sementara tidak mampu mengartikulasikan visi-misi dan program Gubernur Sumbar secara lebih tepat dan terukur.(*)