Sumatera Barat dan Narasi Intoleransi

Foto Harian Singgalang
×

Sumatera Barat dan Narasi Intoleransi

Bagikan opini

Institute merilis hasil survei kota yang intoleran pada 30 Maret 2022. 3 dari 10 kota yang paling tidak toleran berada di Sumatera Barat. Tiga kota itu adalah Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang Panjang.Sumatera Barat kerap kali ditimpa isu intoleransi. Mulai dari persoalan jilbab, UU Sumatera Barat, dan terbaru soal persoalan di asrama FKIP UNAND terkait aturan berpakaian.

Saya melihat ada semacam sentimen terhadap Sumatera Barat. Di samping Aceh, Sumatera Barat adalah wilayah yang kerap kali dibenturkan dengan kebebasan berekspresi.Namun, para pengkritik ini dalam kritikannya banyak mengandung ketidakbebasan itu sendiri.

Sebab yang menjadi sasaran kritik terhadap Sumatera Barat sering kali terjadi pada wilayah-wilayah kebudayaan lokal.Semua orang tahu bahwa Sumatera Barat bukanlah wilayah sekuler. Kebudayaan yang menjunjung tinggi aturan-aturan komunal adalah bagian dari wajah Sumatera Barat.

Namun wilayah-wilayah ini yang dianggap sebagai suatu sikap konservatif. Dan itu terkadang dilihat sebagai sebuah kesalahan. Memang benar pada beberapa aspek Sumatera Barat masih bertahan dengan sikap konservatifnya. Tapi saya rasa juga kurang adil jika menjustifikasi Sumatera Barat sebagai daerah intoleran.Barang kali yang tidak dipahami oleh orang-orang luar Sumatera Barat adalah pemaknaan toleransi oleh orang-orang Sumatera Barat. Jika indikator toleransi adalah terciptanya masyarakat yang plural, maka Sumatera Barat sangat plural. Belum ada tercatat sejarahnya konflik yang timbul antar ras di Sumatera Barat. Sumatera Barat terhitung cukup adem untuk persoalan semacam ini.

Identitas diri atau intoleransiPemaknaan toleransi terkadang sampai pada titik overdosis. Terkadang toleransi dimaknai sebagai akulturasi budaya semata. Artinya budaya asli tidak “boleh” melakukan filter terhadap budaya atau pemikiran-pemikiran luar.

Tapi, tidak banyak orang yang menyadari bahwa akulturasi juga bisa berujung pada degradasi budaya. Jadi, langkah yang lebih tepat adalah asimilasi budaya.Pemaknaan terhadap nilai universal terkadang tidak bisa serta-merta menghapus nilai-nilai yang subjektif. Dalam filsafat moral saja masih terjadi perdebatan apa yang dianggap baik dan buruk, pertentangan antara moral subjektif dan moral objektif.

Maksud saya pertentangan antar nilai adalah sesuatu yang wajar dan niscaya. Budaya atau nilai akan damai dengan sendirinya jika ada pertemuan kesamaan. Contohnya nilai membunuh dianggap buruk oleh semua kebudayaan-setidaknya sulit bagi kita untuk mengatakan membunuh itu tidak jahat.Tetapi pada nilai-nilai yang tidak mungkin untuk didamaikan maka harus ada yang mengalah. Di sinilah timbul narasi intoleransi itu sebetulnya.

Ada desakan untuk penerimaan nilai baru dengan cara menegasikan nilai lama yang tidak jarang merupakan identitas dari suatu masyarakat itu sendiri. Identitas tidak mungkin untuk ditolerir. Harus ada semacam seleksi yang ketat di sini.Identitas Sumatera Barat terdapat pada adat dan agama mereka. Dari identitas inilah nilai-nilai kehidupan, tata krama, tindak tanduk. Memang harus diakui dan disadari pada beberapa sisi nilai-nilai ini beririsan dengan nilai-nilai modern yang mempunyai nilai dengan porsi yang cukup besar terhadap hak individu. Moral modern adalah moral individualistis.

Di sinilah dibutuhkan pemahaman secara proporsional terhadap identitas nasional dan identitas etnik.Tentu saja kita harus memandang Sumatera Barat dengan kaca mata objektif. Membaca data-data secara terbuka dan tidak terbuka secara defensif. Identitas diri tidak bisa dijadikan tameng untuk melakukan perubahan selama perubahan itu baik adanya.

Dengan catatan tidak harus melepaskan identitas diri tadi. Almarhum Buya Syafii Maarif adalah sosok yang cukup sering memberikan “kritikan” yang membangun terhadap Sumatera Barat. Itu dapat kita lihat dari tulisan-tulisan beliau di Resonansi Republika.(*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini