Nobel Ekonomi: Kepercayaan Nasabah dan Risiko Sistemik

Foto Harian Singgalang
×

Nobel Ekonomi: Kepercayaan Nasabah dan Risiko Sistemik

Bagikan opini

Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2022 telah diserahkan kepada Ben. S.Bernanke, Douglas W.Diamond dan Philip. H.Dybvig.. Ketiganya telah melakukan riset yang menghasilkan kesimpulan pentingnya bankir memelihara kepercayaan nasabah.Ketidak kepercayaan nasabah terhadap bankir dapat menjadi penyebab penarikan dana secara massal dan menjadi efek domino pada bank lainnya.

Dalam konteks melihat kepercayaan masyarakat pada bank dan risiko sistemik dalam dunia perbankan di Inonesia, maka kita akan melihat sekilas perjalanan perbankan di Indonesia yang telah melewati  lika liku dan jatuh bangunnya...

  • Kepercayaan Nasabah.

Ingatan masyarakat Indonesia tentu akan melayang pada tahun 1997/1998 saat terjadi krisis ekonomi, saat  kepercayaan nasabah bank pada bank menjadi sangat tipis.Sebenarnya pada tahun 1991-1997  perbankan di Indonesia berada pada tahap konsolidasi yakni prinsip kehati-hatian yang sedang diperkenalkan termasuk kecukupan modal dan peringkat bank.

Namun krisis telah terlanjur merebak semasa tahap konsilidasi sedang berjalan, sementara kondisi fundamental bank-bank masih lemah, antara lain kecukupan modal yang belum teratasi. Kelemahan sektor perbankan setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal yaitu: pertumbuhan jumlah bank yang amat pesat sebagai hasil kebijakan deregulasi 1988, yang tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh Bank Sentral, lemahnya penerapan good cooperate governance di sektor perbankan karena antara lain konsentrasi kepemilikan amat tinggi dan terjadinya economic boom dan integrasi keuangan internasional yang mengakumulasi tingkat kerentanan sistem perbankan Indonesia (Kusumaningtuti, 2009)Hasil penelitian Office of the Comptroller of the currency (OCC) yang merupakan badan federal di Amerika Serikat yang mengatur dan mengawasi bank dan mengawasi mata uang, mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan bank. Manajemen bank yang buruk dan permasalahan internal lainnya merupakan penyebab lazim dari bank-bank yang gagal atau bermasalah.

Kelemahan yang dikendalikan oleh manajemen memainkan sebuah peran yang signifikan dalam penurunan sebesar 90% dari bank-bank yang gagal dan bermasalah yang dievaluasi oleh OCC.Pada pertengahan tahun 1998, sebuah penelitian Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia berada dalam krisis ekonomi yang serius. Sebuah  Negara yang mencapai pertumbuhan cepat dalam puluhan tahun, stabilitas terjaga dan penurunan angka kemiskinan, namun mendekati keruntuhan ekonomi.

Beberapa aspek negatif sebagai penyebab dari kesalahan penerapan asas prudential banking , yaitu bank – bank yang tumbuh dan berkembang adalah bank – bank yang  dimiliki oleh pengusaha yang dekat secara keseluruhan dengan pejabat. Banlk-bank tersebut menjadi lahan subur untiuk tumbuhnya bibit-bibit patronasi bisnis melalui praktik-praktik pengucurun kredit yang mestinya dapat dikategorikan sebgai bentuk ketahanan perbankan yakni telah melampaui batas pemberi kredit yang diizinkan ( Legal Lending Limit ).Kedudukan bank sentral yang pada saat itu belum lagi independen dari pengaruh pemerintah, rentang kendali menjadi semakin longgar kerena registrasi perbankan yang demikian bebas dan mengandung kemudahan yang berlebihan pesat pada masa orde baru telah membentuk mental para pelaku bisnis di Indonesia, yang lebih mementingkan pemupukan keuangan grup-grup perusahaannya.

Sehingga mempersulit aparat pengawasan bank sentral dalam menelusuri sumber-sumber pendanaan modal sendiri bank dan penyaluran dana-dana bank dalam suatu grup perusahaan lainnya. Pada akhirnya membawa pada lemahnya law  enforcement pada dunia bisnis di Indonesia. ( Shalendra D.Sharma, The Indonesia. Financial Crisis, 2001).Selain aspek-aspek negatif tersebut pemicu krisis moneter adalah terdepresiasinya nilai mata uang Baht secara tajam terhadap dolar Amerika. Dengan demikian dapat kita pahami faktor- faktor yang menjadi penyebab bank gagal adalah faktor internal dan faktor eksternal, yang termasuk dalam kategori faktor eksternal selain pelemahan nilai mata uang,  adalah kemerosotan kondisi perekonomian, pertanian, minyak dan gas, real estate dan sebagainya.

Puncak penurunan  kepercayaan masyarakat terjadi saat 16 bank ditutup atas perintah Internasional Monetary Fund (IMF), yang menimbulkan kepanikan dan tidak semua ahli setuju atas tindakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).Misalnya, ekonom Jeffrey Sachs seorang ekonom Harvard yang mengatakan kebijakan itu tidak perlu. Penutupan bank yang buru-buru dalam lingkungan dimana asuransi deposito tidak ada yang cepat menyebabkan kepanikan dan menjadi badai krisis keuangan. (Charles Enoch, et al, Indonesia Anatomy of Banking Crisis,2001). Langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis dan agar kepercayaan masyarakat pada perbankan kembali menguat diantaranya pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yaitu memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat ( blanket guarantee), namun tentu berakibat membebani  APBN Indonesia.

Pesan penting lain dari riset  Bernanke, Diamond dan Dybvig,  perlunya asuransi deposito atau lebih tepat dinamakan lembaga penjamin simpanan, yang saat sekarang sudah dimiliki oleh hampir semua Negara. Riset trio Bernanke membuka cakrawala sepahit apapun krisis Ekonomi akibat krisis keuangan,, solusi tersedia.Di Indonesia Lembaga Penjamin Simpanan telah terbentuk dengan UU No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,  mengganti program blanket guarantee yang dilaksanakan saat terjadi krisis moneter.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini