Tragedi Juara Dua

Foto Harian Singgalang
×

Tragedi Juara Dua

Bagikan opini
“Sepak bola tidak membangun karakter, sepak bola mengungkapkannya” (Brad Valentine) Anak muda itu berteriak mengagetkan. Mereka berpelukan sambil menitikkan airmata. Saya memantau mereka dari jendela Teras Talenta, tempat anak-anak bermain dan membaca buku. Suara mereka panjang ketika dengan nada parau berat mengatakan: “Kita ternyata juara duaaa…” Aneh, dua orang remaja mendapat juara dua tapi bisa menangis luar biasa seperti itu. Aku menyimak percakapannya. Oalah, ternyata soal permainan bola. Bola adalah permainan olah raga yang sangat diminati di Indonesia. Penggemar bola sungguh fanatik. Mereka rela membuang uang, tenaga, waktu dan pikirannya untuk menyaksikan idolanya berlaga. Bola tidak hanya sebagai olah raga dengan segala manfaatnya bagi tubuh, tetapi juga melatih kecerdasan otak untuk menganilisis setiap langkah lawan bagi pemain mau pun penonton. Ia juga sebagai hiburan, kesenangan dan wisata keluarga. Tak heran banyak orang tua pencinta bola mengajak keluarganya yang masih kecil ikut menonton bola. Melihat 22 pemain berlari dari masing-masing regu di lapangan sepakbola untuk menggolkan bola, memang menambah adrenalin penonton untuk ekspresif. Ketika bola gol masuk ke kandang lawan , sorakan penonton sungguh membangkitkan gairah kebersamaan, keterpaduan, kebahagiaan yang harmonis. Hilang rasa pemusuhan dan duka luka politik. Menyatu dengan patriotisme tinggi terhadap negara atau daerah yang dibela untuk menghadapi lawan. Beberapa minggu bahkan bulan lalu kita disibukkan dengan kasus Ferdi Sambo yang tak berhati bersama istri membunuh bawahannya. Konon ini pembunuhan berencana yang melibatkan petinggi Polri. Citra polisi langsung berada`di titik nadir meski telah ditetapkan 11 orang tersangka dalam pembunuhan kasus Brigadir Joshua. Kasus ini belum terungkap jelas motif sesungguhnya. Rakyat masih menunggu-nunggu apalagi jika dikaitkan dengan Kosorsium 303. Hal ini berlanjut dengan kritik tajam Najwa Shihab terhadap polisi yang hedon dan membanggakan kekuasannya. Bersahut-sahutan pro dan kontra antara pendukung Najwa dan pendukung polisi. Kita hanya membaca dan menonton berita di medsos, televisi atau youtube, tapi tetap membuat rakyat Indonesia teraduk-aduk emosi dan pikirannya. Penuh kecemasan dan ketidak percayaan di institusi Polri. Lalu apakah akan beruntun dengan ketidak percayaan dalam menyelesaikan masalah Kanjuruhan yang hangat sekarang? Permainan sepak bola yang membahagiakan, yang dalam proses menuju prestasi nasional maupun internasional menjadi hancur lebur. Riuh rendah video yang beredar tentang sepak terjang TNI dan polisi yang terlalu represif ingin mengamankan wasit dan pemain dengan menembakkan gas air mata. Ini memang tidak lazim, apalagi ada aturan dari FIFA yang tidak membolehkan menggunakan gas air mata. Kabar malang dari Malang membuat kemalangan negara kita semakin malang. Jeritan Memilukan di Angka “Cilaka” Tahyul zaman dulu sering kita dengar di kampung-kampung dengan kata kesialan. “Jangan dekat angka 13 bisa cilaka” atau umpatan “Waduh cilaka tiga belas..”. Ini hanya umpatan yang tidak relevan jika dikaitkan dengan kesialan. Apalagi jika ada hari Jumat di tanggal 13, maka kesialan akan berlipat ganda. Mungkin orang dulu terpengaruh budaya Eropa dan Amerika seperti dalam film yang berjudul Friday the 13th. Kita tentu tak akan terpengaruh dengan mitos bodoh itu. Tapi kengerian peristiwa Kanjuruhan di pintu 13 ini memang menjadi trauma yang dalam bagi kita bangsa Indonesia. Apalagi keluarga yang kehilangan. Seolah angka sial itu betul-betul cilaka. Saya bukan pecinta bola, tapi lingkungan saya semua gila bola. Saya kadang kesal melihat keluarga menonton bola hingga subuh dan berteriak-teriak histeris ketika jagoannya menang. Saya membayangkan berada di dalam stadion Kanjuruhan Malang menyaksikan pertandingan bola antara Arema FC, Malang dengan Persebaya, Surabaya, di tengah manusia yang ingin membahagiakan diri. Lalu berubah berdesak-desakan ingin keluar di pintu 13 menjadi kengiluan dan kepedihan. Bagaimana menit-menit dan detik-detik mematikan itu dimulai. Jeritan emosi ketakutan kena semprotan gas air mata yang memedihkan hingga berebut keluar. Remaja, pemuda, dan anak-anak terhimpit kesakitan, lalu tergeletak , terinjak-injak. Rasa tak percaya dengan sepak bola yang begitu membahagiakan berubah menjadi mengerikan. Sampai saat tulisan ini dibuat ada 4 versi korban yang datanya berbeda yang ditampilkan CNN. Dari Mabes`Polri 125 orang meninggal dengan korban luka 467 orang, Dari Aremania berjumlah hampir 200 orang meninggal. Posko Post Mortem Crisis Center sejumlah 133 orang meninggal serta Dinas kesehatan kabupaten Malang berjumlah 131 orang meninggal dan dirawat 27 orang. Belum lagi yang luka kecil dan sesak nafas. Perbedaan data nyawa ini membuat kita semua menganggap peregangan nyawa adalah hal biasa sebagai takdir Allah, padahal banyak anak-anak yang meninggal. Menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) di antara yang meninggal, 35 orang adalah anak-anak. Terjepit di pintu 13? Kematian memang tidak mememilih tempat dan usia. Namun jika peregangan nyawa karena kesalahan kita, manusia yang semestinya berhati nurani, maka ini patut diusut. Perlu diluruskan agar masyarakat tidak bingung dan berimajinasi liar hingga cenderung menyebarkan hoax. Padahal hanya karena literasi informasi yang kurang lengkap. Pemerintah mesti cepat mengambil tindakan agar tidak berkembang semakin kacau . kita selalu bercerita tentang one big data, dengan sumber yang berbeda dan hasil data sama, tapi dalam praktiknya ini masih banyak bermasalah. Masuknya suporter jadi faktor pemicu? Faktor masuknya suporter ke lapangan tentu tidak menjadi alasan yang tepat bagi polisi untuk represif bahkan menyerang dengan gas air mata. Ada oknum yang bahkan menendang, melumpuhkan seolah menghadapi penjahat kelas kakap. Hal ini membuat pencinta sepak bola berlari dalam kerumunan, terjepit, terinjak, tersebab mata yang nyaris tak bisa dibuka karena kepedihan. Banyak yang tak mampu lagi bernapas karena asap yang mengelilingi stadion. Para pihak mulai membela diri, seolah tak bersalah. Di Era 4.0 tampaknya tak lagi bisa disembunyikan atau direkayasa laporan yang baik untuk membela diri. Jejak digital yang beterbaran bisa dijadikan alat bukti. Sedemikan tegakah si pemegang kunci untuk tidak membuka kunci pintu 13 itu. Bahkan seorang saksi bernama Eko merengek kepada seorang oknum berbaju hijau untuk membukakan pintu. Ia ingin membantu korban. Justru responnya tidak terduga. Begini dia bersaksi ”Saya waktu itu minta tolong ke oknum aparat baju hijau karena saya pikir dia baik. Namun responnya tidak baik, dia mau memukul dan berkata bahwa dia dan temannya juga korban pemukulan suporter”. Sebagaimana dikutip di https//jatim.jpnn.com. Karena pemukulan suporter membuat polisi panik lalu membalas dengan tidak berusaha membukakan pintu?. Buah Simalakama di Tragedi Juara Dua Di tengah upaya kita meraih prestasi di dunia persepakbolaan dengan mengalokasikan anggaran yang besar untuk persepak bolaan, kita berusaha sebagai “juara dunia”. Kali ini kita “juara kedua” dalam tragedi. Tragedi terburuk juara satu dunia adalah di stadion Estadio Nacional Peru. Korbannya tercatat 328 orang, tahun 1964. Saat pertandingan olimpiade antara Peru dan Argentina. Tahun 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang Jawa Timur adalah bencana terburuk kedua di dunia. Di tanggal keramat yang setiap tahun kita peringati sebagai hari kesaktian Pancasila satu oktober. Kita menangis dua kali. Banyak saran dan solusi yang diberikan netizen, maupun pakar manajemen sepakbola. Mulai dari memberikan sanksi organisasi persepak bolaan internasional, nasional maupun daerah hingga pidana. Kepolisian dan TNI yang over acting (melampaui batas) yang mengakibatkan kematian sedemikian banyak juga menjadi sasaran. Berdasarkan pengalaman selama ini sanksi yang diberikan terhadap kerusuhan sepak bola tidak efektif. Buktinya kerusuhan tetap saja terjadi. Tawuran, penyerangan, pembakaran dan penghancuran asset Negara/daerah. Kanjuruhan adalah puncaknya bahkan bertarung nyawa. Sekarang bayangkan jika sanksi yang diberikan bahwa semua kompetisi PSSI (liga 1,2 dan 3) dihentikan mungkin untuk citra ketegasan di mata dunia akan bagus, tapi bagi pemain, pelatih, bahkan UKM yang berjualan selama kompetisi akan kehilangan pendapatan. Apalagi jika tidak lagi boleh ikut berlaga atau keterlibatan kompetisi di even internasional. Memang tidak mudah menganalisis dan mengambil kesimpulan untuk memecahkan masalah secara menyeluruh. Namun jika ini akan menjadi faktor perubahan maka harmonisasi semua stake holder sangat diperlukan. Investigasi menyeluruh dan objektif patut dilakukan dengan berkoordinasi dengan FIFA sebagai organisasi sepakbola yang mewadahi organisasi dunia. Bencana ini bukan pertandingan supporter Surabaya vs Malang, karena supporter Persebaya dilarang menonton. Lalu ini kesalahan siapa? bukankah penanggung jawab harus bertanggung jawab. Ketua PSSI? Panitia? Polisi? TNI? Tentu hanya yang punya kewenangan. Mari kita ketuk hati nurani mereka. Saya jadi teringat ketua DPRD Kab Lumajang, Anang Ahmad Syaifuddin yang mundur hanya karena tidak hapal ketika membaca teks Pancasila. Tak lagi menjadi ketua DPRD tapi ia justru naik nilainya dan mulia di mata masyarakat. Itulah akuntabilitas dan integritas. Bagaimana dalam manajemen persepak bolaan? Kita tunggu hasil investigasi pihak berwenang.

Apakah sudah efektif penetapan sanksi atau bahkan 6 tersangka Tragedi Kanjuruhan? Betul juga kata Brad Valentine bahwa sepak bola bukan membangun karakter kita tapi justru menunjukkan karakter kita. Saatnya berubah, dimulai keberanian Iwan Bule mengundurkan diri!

Sastri Bakry, 64 thn, novelis, penyair, Founder Sumbar Talenta, aktivis , Akuntan dan instruktur professional Auditor Internal dan birokrat di Kemendagri. Alumni Fekon Unand Padang. Novel Kekuatan Cinta adalah karya best seller dengan penerbit Zikrul Hakim. Novel Sedikit di Atas Cinta menjadi Buku Inspiratif dalam acara Kick Andy tahun 2016. Puluhan buku sudah dihasilkan, sendiri maupun antologi.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini