Merespon Kegaulan Krisis Ketokohan Orang Minang

Foto Harian Singgalang
×

Merespon Kegaulan Krisis Ketokohan Orang Minang

Bagikan opini

Berbagai pernyataan tentang adanya degradasi ketokohan orang Minang belakangan ini terus mengemuka mulai dari ibu Megawati Sukarno Putri, dan baru-baru ini bapak H.M. Jusuf Kalla (JK) dan sebagainya. Perspektif yang banyak digunakan adalah dikotomi historis dan popularitas media massa. Dari sisi orang historis orang akan membandingkan dengan jejak ketokohan orang Minang, sebagai tokoh atau pejuang asal Minangkabau yang tampil di ranah perjuangan kemerdekaan, seperti Muhammad Hatta, H. Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Yamin, Khairil Anwar, Sutan Syahrir, Mohammad Natsir, Rohana Kudus, Hamka dan sebagainya. Selanjutnya dari sisi popularitas di media, dilihat berdasarkan sering munculnya seorang tokoh dilayar televisi, media sosial dan aktivitas-ativitas yang direkam sebagai konten aplikasi media banyakk ditonton, sebagai seorang komunikator yang menarik atau nyentrik dan humoris, sesuai dengan selera pasar tontotan atau netizen.Sudut pandang dikotomis historis dan popuaritas media jika dijadikan sandaran utama dalam menjustifikasi kondisi atau eksistensi kekinian orang Minang tentulah tidak adil dan terkesan memvonis, bahwa orang Minang sedang mengalami krisis ketokohan. Artinya melihat tentang dinamika orang Minang di kancah nasional haruslah secara komprehensif, karena banyak lagi bukti bahwa ketokohan orang Minang yang nyata, dan terbukti kehadiran mereka dalam komunitas diaspora Minangkabau dan kiprahnya malah dalam dunia global sebagai pemikir dan pengajar di Perguruan Tinggi nasional, bahkan internasional bukanlah sebagai seorang yang “malagak” di media sosial. Ketika mereka menjadi poitisi sangat terkenal ketajaman analisisnya di panggung politik dan medium debat antar tokoh politik. Bahkan pak Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansyarullah pada sebuah kesempatan mengatakan Terdapat 8 sd 10% orang Minang duduk di DPR RI (Periode 2019-2024), baik sebagai wakil di Dapil Sumbar, maupun di daerah lain. Sehingga dianggap terbesar di Indonesia, jika berbanding dengan jumlah populasi 3% Etnis Minangkabau. Selain itu dalam laporan BPS (2019) bahwa Sumbar berada di urutan kesembilan di Indonesia, bahkan di tahun 2021 berstatus tinggi dengan nilai 72,65. Tengok jugalah lulusan SMA di Sumbar urutan kesembilan Nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) tertinggi di Indonesia. Selain itu kita tiap tahun mengirim ratusan alumni madrasah dan SMA asal Sumbar yang melanjutkan studinya di berbagai perguruan tinggi luar negeri, seperti Universitas Al-Azhar Kairo. Di tingkat Perguruan Tinggi insyaallah dua Perguruan Tinggi di ranah Minang Uiversitas Andalas dan Universitas Negeri Padang akan masuk radar World Class University (WCU).

Pak Jusuf Kalla ketika berpidato dalam Sidang Istimewa di DPRD Sumbar dalam HUT Sumbar ke-77 tanggal 1 Oktober 2022, juga mengutip ungkapan sang proklamator Ir. Soekarno Presiden RI Pertama: “Bekerjalah seperti orang Jawa, berbicaralah seperti orang Batak, dan berfikirlah seperti orang Minang”. Orang Minang punya tradisi berpikir yang kuat, memiliki social kapital, human capital dan cutural capital yang mumpuni. Perubahan sosial akibat arus globalisasi dan modernisasi yang menjalar melalui difusi kebudayaan bermedium digital. Orang Minang dengan strategi budayanya menguasai perut orang Indonesia atau merebut industri rumah makan di bumi nusantara ini, bahkan rendang dianggap sebagai makanan ikon Indonesia dan diakui kelezatan di dunia. Bahkan kebijakan berbusana Muslim bagi di sekolah dan birokrasi yang digagas zaman Pak Gamawan jadi Bupati di Solok dan eranya Wali Kota Padang Fauzi Bahar saja, diimitasi dan dilaksanakan oleh daerah lain di Indonesia.Saya sering mengatakan dalam melihat keberadaan sebuah entitas etnis di negeri ini janganlah dalam logika konvensional tetapi coba berpikir kontemporer. Dulu peran tokoh Minang itu terbatas pada ranah politik, sastra dan agama, kalau sekarang lebih luas lagi di ranah ekonomi, politik, pendidikan, birokrasi, keartisan, militer, diplomat dan tidak perlu “dilagakkan” lagi silahkan telusuri sendiri dengan instrumen digital, dengan tradisi marantau orang Minang berimplikasi banyak pada peran dan kontriibusi orang Minang di tiap jengkal negeri ini. Dengan semangat filantropis dan jaringan sosial sesama perantau serta diaspora orang Minang, alhamdulillah identitas dan kecintaan atau relasi ranah-rantaunya tetap terjaga.

Saya sependapat dengan beberapa ide pak Gamawan Fauzi mantan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Sumbar. Dalam opini beliau di Harian Singgalang tempo hari, bahwa “Orang Minangkabau keutamaannya adalah berpikir. Mereka bekerja dengan otak tidak dengan otot, dan hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang Minangkabau menjadi tokoh nasional dan tokoh dalam bisnis” yang membutuhkan kekuatan berpikir, kecerdikan dan keuletan serta kecerdasan yang dibentuk oleh konstruksi nilai-nilai budaya di daerah asalnya (kampung halaman).Ketika dalam situasi seperti ini, sebetulnya yang perlu kita pertahankan dan rawat, serta internalisasikan adalah nilai-nilai karakter orang Minang, harus kita wariskan melalui pendidikan informal dengani aktivitas pewarisan budaya dalam komunitas orang Minang di ranah-rantau dengan konteks “Meminangkan orang Minang” dan tentunya secara formal kita aktifkan mata pelajaran Muatan lokal (Mulok) Bahasa dan Sastra Minangkabau atau Budaya Alam Minangkabau yang sempat hilang dari kurikulum. Implikasinya agar nilai-nilai budaya, kearifan lokal dan karakter Keminangkabauan kita, tak hilang ditelan arus zaman. Diakhir tulisan kita mengucapkan terimakasih pada tokoh-tokoh yang selalu menyuarakan tentang krisis tokoh dan ulama Minang, sehingga menjadi bahan refleksi bagi kita semua untuk terus berkarya dan berbuat untuk ranah Minang.(*)

Penulis adalah Rektor UNP/ Ketua Majelis Pendidikan Tinggi DPP ICMI

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini