Membela Kesunyian

×

Membela Kesunyian

Bagikan berita
Membela Kesunyian
Membela Kesunyian

Oleh Akhyar Fuadi(Rais ‘Am Pondok Pesantren Tarbiyah (PPTI) At-Taqwa Canduang)

Dulu, sewaktu kecil, saya sering melihat warung-warung tutup di bulan puasa. Menjelang Ramadhan otoritas setempat melayangkan selebaran berisi ajakan kepada warga untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan ketenangan bagi orang-orang yang akan menjalani ibadah puasa. Di masjid, mushalla, dan langgar, kerap diumumkan dengan pelantang suara agar anak-anak tidak bermain mercon dan meriam bambu untuk menjaga ketenangan orang-orang tua dalam beribadah. Petugas keamanan kerap melakukan sweeping, menjaring orang-orang keras kepala yang masih membuka lapak dagangan makanan mereka di siang hari, menertibkan para penjual mercon dan kembang api. Sudah jadi tontonan wajib: Hotel-hotel dan penginapan-penginapan murah disisir dengan lebih intens oleh petugas keamanan untuk menangkapi pasangan-pasangan mesum yang bandel dan tetap ngamar di bulan penuh ampunan.Setelah saya dewasa keadaan tidak banyak berubah.  Pelantang suara di mesjid-mesjid masih kerap terdengar menjalankan tugasnya: mengumumkan agar warga menjaga ketenangan, ketertiban, dan keamanan, untuk menghormati orang-orang yang berpuasa. Anak-anak masih kerap dibentak-bentak pengurus masjid saat mereka meledakkan petasan di halaman masjid sambil berhaha hihi. Di laman pencarian Google, saya cukup mengetikkan keyword "razia ramadhan", dan Google menampilkan ratusan berita mengenai razia dan penegakan kamtibmas oleh aparat di berbagai daerah di Indonesia.

Ada benang merah yang terentang panjang dari memori masa kecil saya hingga kini mengenai gejala sosial ini: tampaknya orang-orang yang tengah berjuang keras melakoni ibadah puasa perlu dibela dan diberi tempat istimewa. Melalui tulisan ini, saya tak hendak mengecam petugas keamanan ataupun otoritas yang berwenang dalam menjalankan tugas mereka. Saya hanya merasa perlu bertanya-tanya tentang: perlukah orang-orang yang puasa dijaga dan dibela dari segala mara yang akan mengganggu ketenangan mereka? Apakah mereka tidak bisa membela diri sendiri? Lantaran mereka tengah puasa, lantas mereka patut beroleh hak istimewa di lingkungan sosial mereka?

Puasa merupakan ibadah individual. Tidak sebagaimana ibadah-ibadah lain yang gampang kelihatan, ia tersembunyi dari mata manusia. Ritus kesalehan berpuasa istimewa justru karena keindividualannya. Menahan diri merupakan aktivitas batin yang tak tampak. Menahan lapar dan haus adalah pekerjaan tak kasat mata. Menundukkan pandangan dari melihat hal-hal yang menggelorakan hasrat dan syahwat adalah jalan sunyi yang hampir tak pernah bisa diawasi orang lain. Menahan diri dari mendengarkan suara-suara yang merusak batin ialah pekerjaan zahid yang tak memerlukan headset dan penyumpal telinga. Menahan diri dari keinginan-keinginan rendah yang berpretensi memuaskan hasrat badani merupakan laku sufi paripurna dan sepi dari hingar tepuk dada.Ibadah puasa istimewa karena kesunyiannya. Laku zuhud yang menjadikan orang-orang berpuasa menjadi orang khawas merupakan prestasi yang jauh dari hiruk-pikuk dunia. Di dalam kesunyian, diri mencari bentuk, mencapai tingkatan kesadaran yang lebih tinggi mengenai arti menjadi hamba, menjadi manusia. Puasa orang-orang khawas inilah yang menjadi manifestasi dari apa yang pernah diamanahkan oleh seorang sufi besar kelahiran Iskandariah, Syaikh Ibnu 'Athaillah, di dalam salah satu mutiara hikmahnya: “Idfan wujudaka fil ardhil-khumul, fa maa nabata mimma lam yudfan la yatimmu nataajuhu”  (Kuburlah eksistensimu ke dalam bumi ketidaknampakan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, hasilnya tidaklah sempurna). 

Baca juga:

Kesunyian, baik secara harfiah maupun figuratif, ialah kondisi terbaik bagi orang-orang yang ingin berkontemplasi, ingin menyelam sedalam-dalamnya ke lubuk diri. Dan kondisi ini tidak serta merta datang dengan sendirinya. Ia merupakan momen yang mesti ditunggu, ditangkap, atau bahkan dicari oleh siapa pun yang ingin merasuk ke dalamnya. Ia bukanlah suaka dan hak istimewa yang terberikan. Di bagian inilah jihad yang sesungguhnya tengah kita upayakan, jihad untuk mengubur eksistensi biji ke kedalaman tanah agar ia tumbuh berkecambah; bagaimana mengupayakan begitu rupa, di tengah hiruk-pikuk lingkungan dan hingar-bingar hidup, mencari dan mengupayakan berbagai cara untuk sampai ke pintu kesunyian. Benarlah apa yang dinasehatkan Syaikh Ibrahim bin Adham,  "Ikutkanlah tubuhmu dengan orang hidup, namun ikutkan hatimu dengan orang mati."

Orang-orang yang puasa, yang tengah menempa diri untuk menjadi "buta", "bisu", dan "tuli", yang berjuang begitu rupa untuk "meniada" sepatutnya tidak layak diperlakukan istimewa oleh lingkungannya. Hal itu hanya akan menjadikan mereka menjadi orang-orang manja dan bergantung pada "santunan" orang-orang di sekitarnya. Justru keriuhan dan pelbagai godaan yang datang silih bergantilah yang akan semakin mematangkan proses penempaan.Orang-orang puasa bukanlah orang gila hormat, bukan orang butuh penghargaan dan apresiasi. Mereka adalah para salik yang akan berjalan sendirian menuju Allah, sabagaimana yang dipraktekkan sepanjang hayat oleh Sahabat Nabi yang Mulia, Abi Dzar al-Ghifari, semoga Allah meninggikan derajatnya dan menempatkannya di tempat para kekasih dalam lautan cinta mereka yang kekal. 

Abu Dzar adalah sosok istimewa. Kehidupannya melambangkan kegigihan seorang Muslim yang konsisten dalam kezuhudan. Hatinya teguh dalam kesendirian yang menjadi kawan setianya sampai ia wafat. Kesendiriannya inilah yang membuatnya berkilau cemerlang sebagai mutiaranya orang-orang zuhud, Ia yang menjadi bukti nubuat Rasulullah, "Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Dia berjalan sendirian. Wafat dalam kondisi sendirian. Dan dibangkitkan sendirian." Seandainya semua lidah berdusta di bawah kolong langit, maka satu-satunya lidah yang tidak berbohong adalah lidah Abi Dzar.Di titik ini, sekali lagi, kita patut bertanya: perlukah orang-orang yang puasa dibela dan diberi hak istimewa?

 

Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini