Oleh Shofwan KarimLektor Kepala PPs UM Sumbar, Ketua PWM Sumbar 2000-2005; 2015-2022
Pada decade 1970-an, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Sumbar mempunyai tokoh-tokoh yang sering menyebut kata “elite-minority” (minoritas elit). Untuk menyebut beberapa nama, di antara mereka adalah Ramli AD, Mansyur Malik, Yasmir Bulkaini, Rusydi Yakub, Idham El, Bazar Abbas, Hasnim Fadhli Hasan, Muchtar Bahar, Syafrizal MS, Suhairi Ilyas, Syafruddin Nur.Beberapa di antara mereka ada yang masih hidup. Akan tetapi sudah “lengser keprabon madep pandito ratu” alias mundur dari peranan dan banyak beribadah. Ini meminjam frasa Presiden Soeharto (1921-2008) pada Peringatan HUT Golkar 20/10/1997. Tokoh paling atas Orba 32 tahun itu lengser 21 Mei 1998. Pada 10 tahun berikut ia hanya tenang dan beribadah. Tentu menyamakan tokoh AMM pada masa itu dengan Soeharto tidaklah bandingan yang sepadan. Bukan “apple to apple”. Ini sekedar menyatakan, bahwa seorang tokoh masih tetap hidup, pada batang usia merunduk, tidaklah sama lagi aktingnya di pentas persyarikatan.
Tiba-tiba kemarin, Sebtu 17 Juni 2023 di Gedung Dakwah Muhammadiyah Sawahan 62 Padang, dikaji ulang. Yang merekognisi lagi adalah adalah Izzul Muslimin, S.IP, Sekretaris PP Muhammadiyah (1922-1027) yang datang ke Payakumbuh dan singgah di Padang untuk kunjungan persyarikatan 17-18 Juni ini. Izzul adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Remaja-IPM Muhammadiyah periode 1996-198.Maestro pencipta Mars IPM itu biacara kekinian. Apa corak wacana setengah abad lalu dengan yang kemarin? Secara substansial taklah berbeda. Tetapi secara instrumental tentulah amat berlainan. Misalnya dulu Ramli AD atau Yasmir Bulkaini sering bilang Muhammadiyah tak boleh diserahkan kepada orang jalanan, singgah di jalan atau tersangkut di jalan. Mereka menyebutnya sebagai “the man on the street”.
Sekarang Izzul bicara terhadap adanya memorabilia kejayaan masa lalu (the glorius of the past) Minangkabau. Kini ada yang merasa aura berbalik-belakang, cahaya Matahari melewati tengah hari menjelang petang. Sebagian orang mengurut dada, termasuk kaum elit Muhammadiyah. Walaupun begitu, Izzul menganggap keadaan itu adalah hal biasa. Seakan ia mengutip al-Quran Ali Imaran 140. Kejayaan dipergilirkan. Umat Islam pada perang Badar menang telak dan pada perang Uhud kalah telak. Tenrtu saja Izzul tak mau mengatakan bahwa suasana kebatinan Muhammadiyah Minangkabau bagai perang Uhud itu. Akan tetapi untuk tidak terlalu terpuruk, boleh jugalah. Yang pokok, tetaplah bangkit. Karena itu Izzul meminta peranan elit kreatif, berfikir, berbuat, berikhtiar konsisten serta pada hal tertentu ke luar dari kotak pandora biasa (Creative-Elite and Think out of the Box)Minoritas Elit Muhammadiyah
Muhammadiyah tak boleh diserahkan untuk menggerakkannya kepada generasi atau siapa saja yang tak terukur kekaderannya di Muhammadiyah, pengalaman, karakter dan pemahaman serta kesetiaannya kepada paham keberagamaan dan amalan ibadah al-Islamnya yang loyal dan dedikatif kepada Muhammadiyah.Kini, kata Izzul Muslimin seakan mengatakan bahwa walaupun mereka sudah qua-minoritas elit tetapi kalau bukan elit kreatif, maka Muhammadiyah jangan harap akan maju. Jalan di tempat saja masih mujur. Khawatir, bahkan akan mundur ke belakang atau “step-back”. Mungkin Izzul seakan mengikuti apa yang disampaikan Dahlan Rais, Ketua PPM yang mengatakan pada suatu saat: “Berjalan, kita tertinggal. Berhenti, kita mati. Maka berlarilah, untuk mengejar harapan”. Personal yang berlari itulah yang dapat bertransformasi menjadi elit kreatif.
Elit KreatifDi dalam teori Minimal theory of creative ability (MTCA), dikatakan oleh Claire Stevenson di dalam J Intell, 2021, bahwa syarat minimal kemampuan kreatif ada dua hal: intelligence and expertise. Menurutnya kemampuan kreatif, minimal, harus mencakup dua aspek: kecerdasan dan keahlian. Tentu saja dua hal itu tidak cukup, harus ada yang ketiga yaitu kemauan, diikuti berbuat atau mengerjakan sesuatu secara profesional. Mereka yang selalu bergumul dengan kreatifitas, itulah elit kreatif. Menurut Al-Quran Al-Baqarah 249 minoritas elit yang kreatif seperti itulah yang bakal dapat mengalahkan mayoritas yang pasif apalagi yang hanya memberikan kritik semata-mata. Mayoritas diam akan kalah oleh mereka yang aktif meski hanya golongan kecil.
Ini penting kalau dibawa ke berbagai ranah kehidupan . Mari telusuri apa itu kreatifitas. Kreatifitas, creativity asalnya creative, “to create” yang artinya “membuat”, sehingga kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membuat sesuatu, baik dalam bentuk ide, langkah, atau produk. Awas, ada sangkaan yang keliru. Sering kali ada yang salah kaprah berasumsi bahwa kebanyakan orang hanya kreatif dalam bidang tertentu saja. Atau hanya orang-orang dengan talenta bawaan saja yang bisa menjadi kreatif.Yang pahamnya begini menyangka personal kreatif hanya “given”dari Allah. Padahal, insan creator bukan hanya lahir karena berkah dan talenta darah. Ia boleh diciptakan. Itulah agaknya apa yang disebut proses kaderisasi. Baitul Arqam (BA); Darul Arqam (DA); Ideo-Politor (IP); Rakornas; Rakorpim; Muspim; Forum Praktis; Upgrading Pimpinan; Refreshing Pimpinan; Pengajian dan Pengkajian Pimpinan, dst.Persoalannya adalah pengkaderan di atas, sejak 50 tahun lalu belum banyak menyentuh bagaimana mentransformasi “fiatun qalilah”- minoritas elit menjadi elit kreatif untuk manakhodai kapal persyarikatan menjurut jajarannya. Jamak pengalaman yang dirasakan selama ini, pengkaderan-pengkaderan di atas masih besar porsinya produksi atau pabrikasi kata-kata, diksi dan narasi. Masih kurang yang bercorak aksi lapangan konkrit yang terukur. Walaupun begitu tetap saja dapat memproduksi kemampuan minimal yang mungkin dapat berlaku. Namun untuk menjadi optimal sebagai personal penggerak memerlukan syarat lain. Inilah yang dulu oleh tokoh top dan vocal di zamannya, Lukman Harun (1934-1999) pekikkan keras ke mana-mana. Ia mengatakan jangan salah memahami banner Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Lukman menggeser frasa itu menjadi. “hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan hiduplah bersama Muhammadiyah.”Dapat didesain
Pada dasarnya kreatifitas bisa direncanakan (by design) , dilaksanakan dan dibuat untuk semua hal. Tentu saja tidak sekali jadi. Maka ketika ada yang tidak setuju dengan ide-ide baru, secara “common-sence”(pandangan umum), boleh-boleh saja. Akan tetapi personal yang suka memberikan respon hanya dengan kritik tanpa ada solusi dan gerakan tandingan yang pro-kebaikan, maka kepada per-personal seperti itu, orang Jakarta bilang, “sama aje boong”.Oleh karena itu bolehlah dipersangkakan bahwa mungkin ini penyebabnya, insan elit kreatif belum marak di persyarikatan. Ada jumlah yang sangat minim, tetapi karena factor kompetisi tak sehat antar sesama berakibat kepada elit minoritas yang mengarah kepada elit kreatif itu berujung kepada layu sebelum berkembang.
Dan kini, Ketua Bakhtiar, Sekretaris Apris dalam 19 tokoh PWM (2022-2027) sedang menanam dan memupuk elit kreatif itu. Tanda-tanda kebangkitan sudah membayang asal tetap cerdas, pakar di bidangnya dan bergerak dengan ikhtiar optimal. Lalu terus menyatukan untuk bekerjasama dan sama-sama bekerja. Tidak ada yang mengasingkan diri “uzlah”, meninggalkan atau merasa ditinggalkan. Dengan begitu elit-minoritas yang menjelma menjadi elit kreatif akan terus secara massif dan massal “Memajukan Sumatera Barat Mencerahkan Umat”. Teruslah bangkit. Insya Allah. ***
Editor : Eriandi