Beberapa Catatan Terkait “Marwah Orang Minangkabau”

×

Beberapa Catatan Terkait “Marwah Orang Minangkabau”

Bagikan berita
Foto Beberapa Catatan Terkait “Marwah Orang Minangkabau”
Foto Beberapa Catatan Terkait “Marwah Orang Minangkabau”

Seminggu terakhir, artikel sahabat kita, Ganefri, “Kembalikan Marwah Orang Minangkabau” telah memancing diskusi hangat. Apa yang disebutnya sebagai “harapan dalam benak orang Minangkabau” tersebut telah mengundang nama-nama lain untuk urun berkomentar, baik melalui artikel -yang juga diterbitkan di portal yang sama; Singgalang, juga di berbagai kanal media sosial, seperti Facebook dan Grub WhatsApp. Tentu ini patut diapresiasi, sebagai tunas yang sedang tumbuh untuk memikirkan kembali “Minangkabau kita” hari ini.Saya kira semangat yang sama juga digelorakan oleh para penanggap. Nama-nama seperti Dirwan Ahmad Darwis, Endrizal Ridwan, dan Ronny P. Sasmita -yang telah menyumbangkan pemikirannya di Harian Singgalang- telah menjadikan ruang publik kita menjadi dinamis, dengan diskusi gagasan, tukar saran, hingga sapa pendapat. Sesuatu yang semakin minim belakangan ini. Maka izinkan saya untuk turut menghangatkan diskusi ini, dengan memberikan sedikit catatan yang barangkali luput diperhatikan dalam masing-masing artikel.

Pertama, terkait marwah. Ganefri tidak menguraikan dengan detail terkait apa yang disebutnya dengan kata tersebut. Ia hanya menjelaskan dan memadankan kata “marwah” dengan kata-kata lain yang sifatnya juga sangat umum dan penuh interpretasi, seperti; sesuatu yang diharapkan; taji; akar budaya; pemikiran atau tradisi berpikir; hingga pertarungan perabadan. Tentu sulit sekali bagi kita mengira-ngira apa yang seutuhnya yang dimaksud Ganefri dengan kata Marwah.Dirwan membenarkan kekaburan pemahaman kata ini. Namun sekali lagi, Dirwan pun terjebak pada permainan kata yang tidak kalah sulitnya untuk dipahami -kali ini digunakan sebagai solusi mengembalikan marwah- yaitu Jati Diri. Asumsi saya, ketidakjelasan masing-masing kata yang digunakan sebagai kunci pertanyaan -juga jawaban- akan membawa diskusi ini, dengan menggunakan kalimat yang digunakan Dirwan sendiri- “buyar di tengah jalan, akhirnya pecah kongsi dan jalan sendiri-sendiri di bawah pengaruh kekuatan lain.”

Kedua, jika ada kata kunci lain yang dapat menghubungkan keempat artikel, selain kata marwah, adalah kata kunci “pemimpin.” Jika boleh saya mengira maksud artikel pemantik, barangkali yang dimaksud adalah pemimpin politik (praktis). Saya maklum poin ini dimunculkan Ganefri sebagai satu solusi yang diserapnya dari Arnold Toynbee, seorang pikir Inggris yang mengetengahkan pentingnya peran dan kecakapan elit pemimpin.Poin ini direspon dengan berbagai sayatan oleh para penanggap. Dirwan mengkhawatirkan solusi tersebut bermuatan politis mengingat 2024 semakin dekat; Endrizal mengamini potensi pemimpin, namun dengan catatan adanya poin -apa yang disebutnya sebagai- mekanisme pasar merdeka. Dan Ronny, meskipun tidak secara langsung membenarkan poin ini namun pengambilan contoh dan penarikan saran menunjukkan kesepakatannya, dengan perlunya kepemimpinan yang “bernilai baik dari tokoh-tokoh Minang.”

Sekilas tampak tidak ada keliru di sini. Namun jika kita baca sekali lagi akan terlihat adanya keterputusan logika, khususnya dari artikel pemantik, yaitu 1) Penarikan poin pemimpin sebagai salah satu cara pandang Toynbee dalam perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari poin lainnya tentang dinamika sosial yang mengitari si pemimpin dan masyarakatnya. Jika kita cermati posisi Toynbee sebagai seorang sosiolog yang kuat dengan pendekatan sejarahnya, makanya dapat dipahami bahwa poin dinamika sosial-lah yang menjadi titik tekannya di sini.Artinya pembicaraan tentang bagaimana pemimpin itu hadir dan mengkondisikan perubahan sosial amat dipengaruhi oleh dinamika sosial dan kesejarahan masyarakat itu sendiri. Demikian berarti tidak memisahkan pemimpin dengan keresahan masyarakatnya. Tidak pula menomorsatukan pemimpin dari masyarakatnya.

Baca juga:

Ganefri dalam hal ini luput melihat konteks dinamika masyarakat yang menjadi poin penting Toynbee itu sendiri. Alih-alih mengurai kondisi sosial-historis (yang dalam kajian filsafat disebut “materiil atau material”) dari masyarakat Minangkabau, artikel tersebut melompat dengan menyiratkan perlunya peran messiah dari orang nomor satu di Sumatera Barat untuk menuntaskan persoalan.Ini seperti seorang striker dalam sebuah pertandingan sepak bola yang lepas dari jebakan off-side sehingga dapat berhadapan satu lawan satu dengan kiper lawan. Namun melupakan peran umpan terobosan dari rekannya.

Keterpusan logika yang 2) terkait tidak inheren-nya problem yang dihadirkan dengan solusi yang ditawarkan. Ini dapat disebut sebagai akibat kekaburan kata “marwah” yang dipersoalkan di awal tadi -dalam konteks Keminangkabauan yang kultural, antropologis, dan sosiologis- dengan solusi politis yang disebutkan kemudian.Kita mungkin sulit membedakan Minangkabau dengan Sumatera Barat, terlebih dalam pembicaraan. Tapi garis pengetahuan yang memisahkan keduanya amat jelas. Setidaknya kata kedua mengandung muatan administratif, geografis, dan yang tidak dapat dihindarkan sebagai sebuah provinsional dalam ingatan besar tentang bangsa Indonesia.

Sebab itu, solusi yang bersifat politis-administratif tidak selalu dapat menyelesaikan problem kultural dan antropologis sebagaimana yang dipersoalkan. Di beberapa kasus memang ia tampak menjadi solusi. Namun jelas dengan bayaran yang amat besar untuk perkembangan kultur dan budaya masyarakat itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan Taufik Abdullah, Gusti Asnan, hingga Audrey Kahin tentang Sumatera Barat pra reformasi.Keterputusan logika yang terakhir juga tampak tidak dihiraukan oleh tiga artikel berikutnya yang menanggapi.

 Lantas Bagaimana?

Tentu saja tidak elok jika saya berhenti di sini. Saya juga tidak dapat langsung memberikan solusi atas apa yang belum purna dipersoalkan. Namun dari keempat artikel yang dapat kita resapi sebelumnya di Harian Singgalang, dengan tidak menafikan diskusi di kanal lain, saya melihat signifikansi kajian yang intrinsik dalam studi budaya dan filsafat pada kajian Etika, khusus hal ini Etika Hidup Minangkabau.Etika yang dimaksud di sini tidak dalam pengertian predikat baik atau buruk yang disematkan pada seseorang atau sebuah perkara. Namun lebih transendental pada bagaimana kebudayaan dan masyarakat itu diwarnai. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa kajian Etika merujuk pada pengamalan nilai-nilai yang berkembang dalam sebuah kebudayaan dan masyarakat.

Artikel-artikel sebelumnya pun telah menyematkan nilai-nilai kebudayaan Minangkabau dalam ulasan mereka, setidaknya memperlihatkan aspek etisnya. Namun belum melangkah lanjut pada bagaimana nilai-nilai tersebut hadir dan dihadirkan dalam konteks kekinian, dengan tantangan kontemporernya. Hemat saya pada bagian inilah kita mesti memikirkan kembali “Minangkabau Kita” hari ini.Solusi yang dihadirkan keempat artikel sebelumnya, terlepas dari titik beranjaknya, -dalam studi Etika- dapat dikembangkan menjadi metode untuk mempertahankan aspek etik dan sistem moral Minangkabau untuk tetap hidup. Bukankah pada keempat artikel sebelumnya, dan kita pada umumnya, juga kebingungan ketika mendefinisikan konsepsi Minangkabau itu sendiri dalam konteks kekinian?

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini